Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Tinggi

Artikel :
6. Komersialisasi Pendidikan Tinggi


Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research &
Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk
menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi
keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum
pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti
dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan
langsung maupun tidaklangsung dengan urusan pendidikan. Namun
demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi
perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika
akademik yang dilakukan Perguruan tinggi kita untuk memenangkan
persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai
ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming
hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak
ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan
menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah
untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah &
gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup
memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada
PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak
sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya
asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala
cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi
yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan
orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada
kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi,
sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah
mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah
mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah
saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri
kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi
kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya
banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau
sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan
berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai
bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari
kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan
range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika
selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus
alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang
sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari
proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal
ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi
pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus
bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar
dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS.
Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang
melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan
Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan
eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan
beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi
dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas
sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi
komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang
memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan
jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan
tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi
arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga
kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.
mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan
pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan
menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

7.Dampak Kapitalisasi Pendidikan Tinggi

Saat ini pendidikan tinggi sedang mengalami krisis sebab saat ini pendidikan tinggi sedang menjadi sasaran kapitalisasi. Kita lihat saja empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB statusnya sudah berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN), yang berikutnya akan disusul pula oleh USU, UPI dan UNAIR. Kapitalisasinya terlihat dari ciri khas dari PTBHMN ini yang pengumpulan dan pengelolaan dana yang dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Sehingga kita akan melihat perguruan tinggi akan menyerupai sebuah perusahaan yang mengurusi bisnis pendidikan.
Sasaran kapitalisasi ini ternyata tidak hanya perguruan negeri saja namun juga akan mengenai perguruan tinggi swasta yang saat ini masih berada dalam tanggung jawab pemerintah. Untuk memantapkan kemandirian institusi pendidikan tinggi, PTBHMN dan perguruan tinggi negeri lainnya akan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Negara PTBHMPN sedangkan perguruan tinggi swasta statusnya akan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Masyarakat (PTBHMPN). Untuk mempersiapkan semua itu, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) yang rencananya akan disahkan sebagai UU pada tahun 2010.
Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa proyek ini pendanaannya dibiayai melalui pinjaman World Bank yang merupakan salah satu instrumen kapitalisme global. Keterlibatan World Bank pada proyek ini bisa menjadi salah satu indikasi yang jelas bahwa memang pendidikan tinggi sedang menjadi sasaran kapitalisme global. Kapitalisme global dengan sistem ekonomi neoliberalnya, menurut Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memiliki beberapa dogma utama yang di antaranya adalah privatisasi sektor publik. Privatisasi ini yang sering disebut sebagai otonomisasi kampus akan berdampak pada dua hal yaitu pendidikan tinggi bukan lagi milik public melainkan menjadi milik segelintir orang pada kelas social tertentu saja dan pendidikan akan selalu dinilai secara ekonomis dengan logika untung rugi.
Lebih jauh lagi ada beberapa dampak yang cukup berbahaya dari kapitalisasi pendidikan tinggi.
Pertama, komersialisasi pendidikan tinggi tidak dapat dihindari lagi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa status BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi. Hal ini salah, karena pada kenyataannya memang terjadi komersialisasi. Bagaimana tidak, pemerintah sudah tidak lagi bertanggung jawab akan dana pendidikan. Akibatnya aset-aset peguruan tinggi dijadikan ajang bisnis untuk mencari uang. Sebagai contoh IPB yang mendirikan Bogor Botani Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampus. Sebenarnya menjadikan kampus sebagai pusat bisnis sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun anggap saja mengkonversi aset untuk menutupi kekurangan dana pendidikan dana sah-sah saja. Tetapi bagaimana nasib institusi pendidikan yang tidak punya aset. Alhasil biaya pendidikanlah yang akan dinaikkan.
Kedua, timbul kesenjangan dalam bidang pendidikan. Seperti yang dijelaskan di atas dampak dari komersialisasi pendidikan salah satunya adalah meningkatnya biaya pendidikan. Bila hal ini terjadi maka pendidikan tinggi akan menjadi milik selintir orang saja yang memiliki kelebihan uang. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh bila parkiran kampus dipenuhi oleh mobil-mobil mahasiswanya. Ini menunjukkan kecenderungan bertambahnya mahasiswa yang kaya. Wajarlah timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah.
Ketiga, terjadinya pasar bebas pendidikan. Jika RUU BHP disahkan pendidikan akan menjadi komoditas. Standar suatu mata kuliah yang akan diajarkan didasarkan pada tingkat permintaan dan keinginan para pemodal. Kalau pemodal-pemodal tersebut adalah bangsa mungkin masih lebih baik karena mata kuliah tersebut mungkin masih akan berrelevansi dengan permasalahan bangsa ini. Namun jika para pemodal itu berasal dari pihak asing maka jangan harap para lulusan perguruan tinggi akan menyelesaikan permasalahan bangsa karena mereka dari awal telah diarahkan untuk menyelesakan persoalan bangsa lain.
Keempat, pendidikan tinggi tidak lagi independen. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pendidikan kita akan akan diarahkan tergantung keinginan pemodal. Oleh karena itu, kurikulum yang telah ada akan terancam karena mudah diutak-atikkan sesuai keinginan para kapitalis. Yang paling dikhawatirkan dari infiltrasi kurikulum ini adalah para kapitalis akan dengan mudah memasukkan mata kuliah tertentu yang berisi ide-ide kapitalisme yang bertujuan untuk mencetak agen-agen kapitalis di Indonesia
Kelima, dilupakannya tri dharma perguruan tinggi. Apabila institusi pendidikan sudan berorientasi bisnis maka jalannya pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama. Yang akan menjadi focus kelak adalah untung dan rugi. Ini saja sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pertama yaitu pendidikan. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang kedua yaitu pengabdian kepada masyarakat akan dilanggar juga karena pendidikan tinggi akan diarahkan untuk menyelesaikan masalah masalah perusahaan asing yang menjadi investor pada perguruan tinggi tersebut bukan permasalahan rakyat indonesia.
Akar masalah dari semua ini adalah berlepas dirinya pemerintah dari tanggung jawab dalam masalah pendidikan. Pemerintah tampaknya sudah tidak mau lagi direpotkan dengan masalah biaya pendidikan. Di samping itu, memang apabila kita runut kita akan menemuakan bahwa kapitalisasi pendidikan tinggi merupakan salah satu agenda kapitalisme global untuk memprivatisasi semua sektor publik.

8. Perguruan Tinggi Harus Ideal

Sebagai orang tua, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun yang ada, mereka pusing dibebani segudang pertanyaan. Seperti apa bentuk sekolah yang baik dan ideal? Apakah harga menjamin kualitas yang diberikan? dan lain sebagainya.
Keadaan seperti itu tidak jauh berbeda dengan memilih perguruan tinggi. Sekarang ini baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) berlomba-lomba menaikkan tarif pendidikan dengan dalih biaya gedung, sumbangan pengembangan, bantuan khusus mahasiswa, dan sebagainya. Bahkan ada beberapa perguruan tinggi yang menawarkan iming-iming mendapatkan komputer, handphone, mp3 player, dan banyak lagi.
Seakan yang terjadi sekarang pendidikan sudah dikomersialkan. Hal ini tidak hanya membuat calon mahasiswa bingung, namun orang tua juga ikut pusing memikirkan nasib anaknya. Seharusnya tingginya biaya pendidikan yang diterapkan pihak perguruan tinggi hendaknya diikuti juga dengan pelayanan pendidikan yang berkualitas, tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja.
Jika perguruan tinggi sudah berani menaikkan biaya pendidikan, maka harus mengimbanginya dengan fasilitas yang lengkap. Dengan kata lain, pendidikan sekarang itu harus ideal. Dalam kamus bahasa Indonesia ideal artinya “sesuai dengan yang diharapkan”

Banyak perguruan tinggi yang menawarkan berbagai kelebihannya, baik lewat media cetak mapun elektronik. Jika sudah seperti itu, pihak perguruan tinggi yang bersangkutan harus konsekuen dengan apa yang ditawarkan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyesal di kemudian hari. Itulah namanya pendidikan yang ideal, sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tentunya orang tua berharap perguruan tinggi yang dipilih akan mampu menjadi tempat mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Tidak hanya sekedar tempat penampungan sementara saja. Perguruan tinggi harus bisa mencetak lulusan yang siap pakai sesuai dengan keahlian yang telah diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak memang buntutnya harus berurusan dengan dana yang tidak sedikit.

9. Pendidikan di Era Pasar Bebas

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.
Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu.
Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai.
Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah.
Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan.
Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen.
Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.
Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi.
Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua.
Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan.
Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan.
Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat.
Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan.
Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education.
Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis.
Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan.
Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan.
Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan.
Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen.
Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar.
Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.
Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya.
Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering.
Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik.
Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu.
Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.
Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran.
Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan.
Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik.
Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional.
Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan.
Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu.
Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku.
Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.
Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas.
Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas. (18)

10. Pendidikan Tinggi Dan Daya Saing Bangsa

Makna Daya Saing
Frasa “keunggulan kompetitif” tersebut bisa kita terjemahkan dalam 2 (dua) hal, pertama : memenuhi kebutuhan diri sendiri (tidak tergantung kepada negara lain), dan kedua : mampu berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan negara dan bangsa lain. Keunggulan kompetitif pertama tersebut kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDIRIAN, sedangkan keunggulan kompetitif kedua kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDRAGUNAAN.
Baik KEMANDIRIAN maupun KECERDIKAN sangat diperlukan dalam membangun daya saing suatu bangsa. Suatu bangsa akan berdaya saing tinggi bila bangsa tersebut MANDIRI, baik secara ekonomi maupun budaya. Artinya, segala pemenuhan kebutuhan ekonominya mampu dipenuhi oleh sumber-sumber ekonominya sendiri. Demikian juga budayanya, dimana bangsa tersebut menganut budaya-budaya berdasarkan nilai-nilai anutan (guiding value) yang tidak terinfiltrasi budaya negatif asing. Dengan demikian, maka KEMANDIRIAN membutuhkan “kesederhanaan” dan “keberanian” anak bangsa dalam mempertahankan dan memperjuangkan kekuatan ekonomi, dan budaya sendiri. Swadesi atau semangat menggunakan produk dalam negeri (buatan sendiri) yang diterapkan Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh usaha kemandirian menghadapi perang ekonomi bangsa penjajah.
Contoh bagus dari Indonesia ditunjukkan oleh Menkes Siti Fadilah Supari , dalam hal prosedur sharing virus Flu Burung melawan dominasi lembaga penelitian virus Amerika Serikat yang berlindung dibalik WHO, dengan mengatakan : “Anda sebagai negara maju memang menguasai teknologinya, tapi kami di Indonesia memiliki virusnya dan rakyat kami yang menjadi korban. Silahkan tempelkan teknologi itu di jidat anda, apakah ia dapat menghasilkan sesuatu tanpa virus dari Indonesia”. Keberanian semacam ini adalah merupakan bibit KEMANDIRIAN untuk berbagi kekuatan ekonomi melalui penelitian teknologi yang dilakukan bersama-sama antara negara maju dengan yang belum maju. Contoh lain adalah tuntutan negara tropis di Asia, termasuk Indonesia, yang berani meminta kompensasi alih teknologi industri negara maju dalam hal penanggulangan pemanasan global, tidak sekedar mendapatkan insentif emisi , yang kemudian waktu harus mengeluarkan banyak uang ketika negara maju telah mampu menciptakan teknologi industri yang ramah lingkungan.
Bila KEMANDIRIAN telah menjadi suatu karakter dan semangat bangsa yang independen dan memiliki keberanian, maka langkah berikutnya adalah menguatkan semangat kemandirian tersebut menjadi keunggulan kompetitif yang benar-benar riil, yaitu KEMANDRAGUNAAN, suatu keunggulan daya saing yang berbasis Intelectual Capital. Bila daya saing KEMANDIRIAN membutuhkan suatu pembangunan karakter anak bangsa, maka daya saing KEMANDRAGUNAAN membutuhkan pengembangan sistem pendidikan (selain sistem kesehatan dan distribusi pendapatan nasional) yang mampu menghasilkan anak bangsa berkualitas tinggi.
Pendidikan disetiap tahapan menjadi hal penting dalam peningkatan daya saing bangsa. Pendidikan karakter untuk daya saing KEMANDIRIAN dibentuk mulai dari tahapan pendidikan Dasar hingga Menengah (DIKDASMEN), dan menjadi tanggung jawab bersama guru disekolah maupun orang tua. Pada tahapan inilah, anak bangsa dilatih agar mempunyai karakter independen dan keberanian. Pada negara-negara OEDC dengan ranking tinggi, seperti Finlandia, Jepang dan Singapore, lulusan SLTA nya telah mempunyai tingkat kemandirian tinggi, sehingga dapat dengan mudah diolah oleh Pendidikan Tinggi berikutnya.
Pendidikan tinggi sebagai bagian akhir dari proses peningkatan daya saing ini akan sangat menentukan peran dalam meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa dan negara, sekaligus mengentaskan kemiskinan yang sekarang ini menjadi “program” populer negara berkembang dimanapun, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing global sebagaimana tuntutan skenario globalisasi (minimal ditingkat ASEAN 2015) yang tidak bisa kita hindari.
Pengembangan Kompetensi PT
Selain pembagian kompetensi lulusan yang jelas antara jalur pendidikan akademis (S1,S2,dan S3) dengan pendidikan vokasi (diploma, Poltek), maka dibutuhkan kurikulum yang menyeimbangkan antara kompetensi “hard skill” dengan “soft skill” yang mengakomodasi aspek teknis dan spirit teknopreneurship. Dalam penerapannya, kurikulum bermuatan teknopreneurship ini membutuhkan tim pengajar yang seharusnya mampu menjadi fasilitator dari pembelajaran aktif mahasiswanya. Dengan kata lain, pengajar harus di-teknopreneurkan dahulu sebelum menteknopreneurkan mahasiswanya.
Permasalahan yang terjadi dari penerapan ini adalah keyakinan dari kebanyakan pendidik bahwa “nature” dari seorang pendidik yang sifatnya melayani adalah berbeda dengan “nature” teknopreneur yang lebih bersifat profit making. Meskipun demikian, kita bisa meniru pengalaman yang diambil oleh pemerintah Singapore, dimana PT nya menyeimbangkan antara pengajaran, penelitian, dan aplikasi komersialnya. PT di Singapore selalu melakukan penelitian dengan syarat bahwa penelitian tersebut haruslah mampu dikomersialkan melalui kerjasama yang baik dengan industri (Laporan Tahunan 2004). Konsep integrasi ini diperkenalkan Singapore dengan istilah Teknopreneurship Education, yaitu mendidik mahasiswa dengan output intelektual yang layak jual dan berdaya saing tinggi.
Mengawali langkah seperti ini, maka PT bisa memulainya dengan memilih kendaraan “pengakuan internasional” nya melalui sisi kompetitif (daya saing) ekonomi negara, bukan sekedar sisi “komparatifnya” saja. Misalnya, pemilihan sastra jawa dan musik tradisional daerah tertentu sebagai kendaraan “ranking internasional” suatu PT di Indonesia memang dari sisi komparatif adalah pilihan jitu, tetapi hanya menghasilkan sedikit dampak ekonomisnya bagi daya saing bangsa. Pemilihan “renewable energi” bagi kendaraan “pengakuan internasional” PT di Indonesia yang beriklim tropis, akan lebih berdampak ekonomis dimasa mendatang meskipun dibutuhkan daya juang tinggi untuk bersaing dengan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar