Artikel :
6.Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memperhatinkan
MASYARAKAT luas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Mei 2005 ini geger sehubungan dengan pengumuman hasil uji coba ujian nasional tingkat SMP tahun ajaran 2004/2005. Hasil uji coba ujian nasional yang menggunakan dasar Kurikulum 1994 sebagai acuan kompetensi menunjukkan, dari 43 SMP peserta tes hanya 4 SMP saja yang lulus ujian. Artinya, nilai rata-rata di 4 SMP tersebut berada di atas ambang kelulusan yang dipatok pemerintah, yakni 4,25. Sementara nilai rata-rata 39 SMP lain berada di bawah ambang batas kelulusan
Meskipun sebuah SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca dari mayoritas siswa di sekolah tersebut yang nilai tesnya di bawah ambang batas kelulusan.
Uji coba di Kudus dilaksanakan 18-21 April 2005, diikuti sekitar 6.000 siswa kelas III dari 43 SMP. Ada enam mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Materi uji coba disiapkan oleh Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat dengan mengacu dasar-dasar kompetensi yang dipatok pemerintah.
Perhitungan secara kasar dari 6.000 siswa peserta tes, jika ada 39 sekolah tidak lulus, artinya jumlah siswa yang gagal menembus patokan pemerintah (angka 4,25) diperkirakan mencapai 5.000 anak lebih. Mengingat Kabupaten Kudus termasuk daerah maju dan berada di Pulau Jawa, bagaimana dengan hasil-hasil tes di lain tempat terutama di luar Pulau Jawa?
Pelaksanaan uji coba bertujuan memetakan kesiapan siswa menjelang ujian nasional sesungguhnya yang akan dilaksanakan 6-8 Juni 2005. Guna menjamin validitas hasil, uji coba dikoreksi dengan sistem optical mark reader (OMR) di Lab Komputer Lembaga Pendidikan Mandiri Semarang. Para siswa mengerjakan soal dengan lembar jawaban komputer (LJK) sehingga saat ujian sesungguhnya tidak akan canggung.
Keempat sekolah yang dinyatakan lulus terdiri 3 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Mereka adalah (berdasarkan peringkat) SMP Negeri 2 Kudus, SMP Keluarga, SMP Negeri 1 Jekulo, dan SMP Negeri 1 Gebog (lihat tabel 1). Dari 46 SMP di Kudus, hanya tiga sekolah tidak ikut uji coba tertulis, yaitu SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae, yang beruji coba sendiri menggunakan metode contextual teaching learning (CTL) .
Meski hasil tes amat buruk, kalangan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional dan penanggung jawab uji coba justru menyalahkan materi tes yang katanya dibuat sulit. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jateng Suwilan Wisnu Yuwono, hasil uji coba ujian nasional tidak bisa dijadikan ukuran kelulusan. "Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus," ujar Suwilan (Kompas edisi Jateng, 21 Mei 2005).
Menarik untuk disimak apakah memang benar materi uji coba di Kudus dibuat jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian nasional yang diadakan pemerintah pusat? Jika memang benar uji coba dibuat sulit, lantas di mana posisi ujian nasional yang menelan biaya tidak sedikit itu? Mengingat tes uji coba juga menggunakan spesifikasi butir soal sesuai dengan standar kompetensi lulusan, bukankah berarti kualitas pendidikan tingkat menengah secara nasional (diwakili hasil di Kudus) tercermin dari hasil tes tersebut?
PERATURAN Mendiknas Nomor 1 Tahun 2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2004/2005, Pasal 3, disebutkan, ujian nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Perlu diingat, untuk tahun ajaran 2004/2005 ini, peserta didik dinyatakan lulus ujian nasional apabila memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (Pasal 14 Ayat 1).
Akan tetapi, standar kelulusan 4,25 sebenarnya tidak baku. Karena Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, pemerintah daerah dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Artinya, masing-masing satuan pendidikan (sekolah) diberi kewenangan untuk menetapkan tingkat kelulusan asal tidak boleh di bawah patokan pemerintah, yakni 4,25.
Konsekuensi dari Pasal 14 Ayat (1) di atas kelulusan peserta didik ditentukan dari 12 mata pelajaran yang diujikan. Dari 12 mata pelajaran tadi, tiga di antaranya, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, materi soalnya ditentukan pusat, sementara sembilan mata pelajaran lain, materi soal dikelola daerah atau sekolah masing-masing.
Dalam kasus uji coba di Kudus, enam materi tes semua disiapkan pihak MGMP, yang berarti tingkat validitas hasil lebih mencerminkan kualitas pendidikan peserta didik. Pihak sekolah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui spesifikasi butir soal yang akan keluar tes.
Validitas akan tampak jika menyoroti jumlah kegagalan sekolah lulus ujian dilihat dari hasil per mata pelajaran (lihat tabel 2). Ternyata ditemukan bukti kegagalan sekolah bukan karena hasil satu mata pelajaran saja. Bahkan, sejumlah sekolah gagal di lima mata tes uji coba. Yang menarik, dari enam mata pelajaran tes uji coba, hanya mata pelajaran PPKn yang berhasil meloloskan 43 sekolah (lihat tabel 3), sementara yang gagal lulus terbanyak di 39 SMP disebabkan karena mata pelajaran Matematika.
Jika mau jujur, tingkat validitas kualitas pendidikan tidak tercermin dari hasil tes sesungguhnya. Bukan rahasia lagi tes ujian yang diadakan sekolah atau daerah hampir dapat dipastikan peserta didik akan lulus. Tanpa bersusah payah dan tanpa belajar pun tidak akan ditemui cerita seorang siswa gagal ujian.
Dari pengalaman selama ini, tes yang diadakan sekolah atau daerah penuh hasil rekayasa. Ada tiga sistem menilai hasil tes siswa, yaitu sistem silang penuh, setengah silang, dan terakhir dinilai 2 guru sekolah sendiri. Sistem silang penuh hasil tes dinilai 2 orang guru lain sekolah. Sistem setengah silang, hasil tes dinilai 1 guru sendiri dan 1 guru lain sekolah. Hasil penilaian 2 guru dimasukkan lembar bantu lalu "dikawinkan" untuk kemudian diperoleh hasil akhir masing-masing siswa.
Jika ditemukan ada siswa nilainya berada di bawah ambang batas kelulusan, nilai tersebut "didongkrak" sehingga akhirnya dapat lulus ujian. Nilai "dongkrak" itu biasanya diputuskan melalui mekanisme rapat antarsekolah. Alhasil, nilai hasil ujian nasional yang diadakan sekolah atau daerah hampir dipastikan selalu lolos ambang batas kelulusan. Mengapa ketidakjujuran itu selalu berlangsung saban tahun? Jawabnya mudah. Pengambil kebijakan sendiri (baca: pejabat teras Depdiknas) juga berlaku tidak jujur dan membiarkan kecurangan tersebut terjadi.
Dari kajian sederhana ini dapat ditarik kesimpulan, banyak pihak belum mampu mandiri. Orangtua ingin selalu anaknya lulus ujian, guru juga belum punya keberanian. Pihak sekolah selalu bangga mampu lulus 100 persen. Pejabat terkait sama juga, selalu minta anak buahnya mampu meloloskan sebanyak mungkin. Meski untuk cara itu ditempuh beragam rekayasa.
Dibutuhkan keberanian untuk merombak sistem yang ada. Sistem penilaian komputer yang dikelola pusat sudah barang tentu tidak luput dari rekayasa. Hasil yang diperoleh siswa bukan melalui proses belajar-mengajar, namun bergantung pada programer. Memang untuk maju butuh keberanian dan kejujuran. Hasil uji coba di Kudus membuka mata kita bahwa kualitas pendidikan tingkat menengah sudah amat buruk.
7. Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi pada Sekolah Dasar dan Menengah di Kota Pekanbaru, Riau.
Sehari menjelang Hari Anti Korupsi Se-dunia pada 9 Desember 2006, Pemkot Pekanbaru menyelenggarakan acara sosialisasi pendidikan antikorupsi berupa pembekalan bagi para guru dari tingkat TK, hingga SLTA se Kota Pekanbaru. Acara yang dibuka Walikota Pekan Baru Drs. H. Herman Abdullah, MM ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK – Sjahruddin Rasul.
Walikota Pekanbaru pada kesempatan itu menyampaikan rencana restrukturisasi dan reformasi birokrasi di jajarannya mulai tahun anggaran mendatang. Restrukturisasi yang dimaksud adalah penggabungan beberapa dinas ke dalam satu wadah baru. ”Demi tercapainya efisiensi dan efektifitas pelayanan publik di Kota Pekanbaru” ujar Herman Abdullah. Ditambahkan Herman, ada usulan mengenai reformasi sistem tunjangan bagi guru, yang sedang menunggu pembahasan dan persetujuan DPRD. Rencananya bila disetujui akan mulai dilaksanakan pada tahun anggaran depan.
Wakil Ketua KPK Sjahruddin Rasul dalam pengarahannya berbagi cerita mengenai kisah sukses kota Pekanbaru dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik – bersama-sama dengan dengan Propinsi Gorontalo dan Kabupaten Solok, Sumbar serta Kabupaten Jembrana, Bali. ”Kami mengharapkan daerah lainnya di Indonesia dapat mencontoh keberhasilan daerah-daerah tersebut” kata Sjahruddin Rasul. Ada pula beberapa usulan terobosan dalam restrukturisasi dan reformasi birokrasi yang direncanakan Pemkot Pekanbaru mulai tahun anggaran 2007 mendatang yang menunjukkan bahwa pemkot committed dan konsisten dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik.
Terkait dengan upaya pencegahan korupsi, pelaksanaan pendidikan antikorupsi diuji-cobakan di SDN 001 Pekanbaru dan 2 (dua) sekolah percontohan lainnya. Rencananya, setelah program pembekalan ini, pada tahun 2007 akan diterapkan sebagai kegiatan ekstra kurikuler mulai tingkat SLTA hingga SD.
Pada acara pembekalan kali ini disampaikan beberapa lingkup pembelajaran, yang antara lain berisikan : filosofi pendidikan anti korupsi seumur hidup, sebab-sebab dan dampak korupsi, dan peran pelajar dalam pencegahan korupsi. Dibahas pula perbedaan metodologi penyampaian materi, dimana untuk pelajar tingkatan menengah atas, disampaikan melalui kegiatan semacam diskusi kelompok, simulasi peran, dan pentas seni. Sedangkan untuk usia TK dan SD, pembelajaran dilakukan melalui pendekatan dongeng dan permainan untuk mengasah pengembangan karakter luhur anak.
Dalam waktu dekat ini, sedang dipersiapkan pelaksanaan TOT ( Training of the Trainers ) khusus ditujukan buat para pendidik untuk setiap jenjang pendidikan, mulai dari SLTA hingga TK yang akan lebih menitikberatkan pada pengembangan karakter luhur sejak usia dini. Ditambahkan oleh Wuryono Prakoso, Fungsional pendidikan masyarakat KPK, bahwasanya pendidikan memegang peran kunci dari pencegahan korupsi. Untuk mencapai hal tersebut perlu diingat beberapa faktor pendukung lain untuk tercapainya hal tersebut, antara lain lingkungan sekolah yang harus bisa memberikan contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya keteladanan dari pendidik itu sendiri.
8.Pendidikan Menengah Pulau Parang Tak Penuhi Standar
Jepara, CyberNews. Pendidikan menengah di Desa Pulau Parang Kecamatan Karimunjawa jauh di bawah standar. Manajemen dan kualifikasi tenaga pengajar dinilai belum memadai.
Oleh karena itu, warga setempat berharap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Kabupaten Jepara mengupayakan pembenahan.
Sekretaris Desa Parang Suyadi kepada Suara Merdeka mengatakan, masyarakat berharap besar para anak didik bisa mengenyam pendidikan menengah yang berkualitas. Namun harapan itu belum bisa terwujud hingga sekarang.
''Sampai saat ini, itu masih sebatas harapan. Memang ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Tapi kemajuan itu tak sebanding dengan harapan masyarakat,'' katanya.
Dia menjelaskan, kemajuan itu terlihat dalam dua tahun terakhir, di mana dinas terkait merealisasikan adanya SD satu atap. Para siswa yang telah lulus SD langsung bisa meneruskan sekolah ke pendidikan menengah.
Sebelumnya, para lulusan SD yang ingin meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah, harus ke Desa karimunjawa. Dari Parang menuju Karimunjawa, mereka harus menempuh perjalanan laut menggunakan perahu mesin selama lebih kurang 2,5 jam. Tapi biasanya mereka memilih indekos di Karimunjawa.
Sejak dibangun SD satu atap, para lulusan SD, baik dari SD Parang 1, SD Parang II, dan SD Parang III (di Pulau Nyamuk) bisa menempuh pendidikan sembilan tahun di desa setempat. Jumlah siswa di pendidikan menengah pertama itu sebanyak 37 anak, terdiri atas 21 anak untuk kelas 7 dan 16 anak untuk kelas 8.
Tapi, lanjut Suyadi, pengelolaan SD satu atap itu kini mulai disorot masyarakat. ''Kalau memang itu pendidikan menengah, kenapa manajemen masih dari SD. Harapan kami itu dipisah dari SD dan jadikan SMP yang sesungguhnya. Sebab animo masyarakat disini memang seperti itu,'' lanjutnya.
Kualifikasi pengajar menjadi sorotan penting. Sebab pengajar di pendidikan menengah itu adalah berkualifikasi pengajar SD. Sebanyak sembilan guru SD semuanya mengajar di ''SMP'' itu. Hanya ada satu guru, yakni guru Bahasa Inggris'' yang memenuhi kualifikasi sebagai pengajar pendidikan menengah.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas P & K Jepara Drs Bambang Santoso MM, Selasa (22/8) mengatakan, SD satu atap di Parang memang diupayakan menjadi SMP yang sebenarnya. Selain SD Parang, yang akan diusulkan ke pusat adalah SD satu atap Desa Sukosono Kecamatan Kedung.
''Selama proses ini, kami juga mempersiapkan kepala sekolah dan tenaga pengajar yang sesuai standar, jika kelak benar-benar berdiri sendiri menjadi SMP. Ini memang butuh dukungan masyarakat setempat dan kemampuan pemerintah kabupaten,'' katanya.
Gagasan adanya SD satu atap merupakan jembatan untuk merintis berdirinya SMP, demi kemudahan akses peserta didik untuk bisa mengeyam pendidikan menengah. Pada 2006 ini Dinas P & K juga akan merealisasikan tiga SD satu atap di Kecamatan Batealit.
9. Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros
TEMPO Interaktif, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.
Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.
BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.
BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar.
"Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.
Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.
Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.
Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.
Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.
Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."
Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.
Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA.
"Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."
10. Pendidikan Korupsi di Sekolah Menengah Masih Kurang
YOGYAKARTA, RABU - Pendidikan korupsi di sekolah menengah masih dianggap kurang. Para siswa jarang diajarkan tentang seluk-beluk tindak korupsi, termasuk transparansi dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah.
Pendidikan korupsi di sekolah tidak ada. Untuk pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pun hanya disinggung sedikit, kata Rizky Bayu Premana, Koordinator aksi damai Kampanye Simpatik 100 Pelajar se-DIY Peserta Sekolah Antikorupsi Clean Generation, di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta, Rabu (24/9) sore.
Aksi damai ini menjadi salah satu bagian dari sekolah anti korupsi (semacam pesantren kilat) yang diikuti oleh pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan kehiatan rohani Islam (rohis) dari 20 sekolah di DIY.
Pelatihan yang dimotori oleh Forum Pemuda Anti Korupsi (FPAK) bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat Kemitraan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berlangsung 23-25 September, dengan pemberian materi seputar korupsi, pembahasan kasus-kasus korupsi, dan diskusi antarpeserta.
Ketua FPAK Suraji mengatakan pelatihan ini merupakan rangkaian awal dari program yang direncanakan akan berlangsung selama setahun penuh. " Nantinya, sebanyak seratus siswa SMA di DIY setiap bulan akan mendapat pelatihan antokorupsi ini," katanya.
Lebih jauh, Suraji mengatakan pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan informasi secara mendalam seputar korupsi kepada siswa-siwa tersebut. "Kalau mereka sudah paham, maka mereka bisa mengetahui dan ikut mengawasi jika terdapat praktek-praktek korupsi di lingkungan sekitar mereka," katanya.
Pasalnya, Suraji melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan selama ini menjadi sangat rentan terhadap berbagai praktek korupsi. Hal ini tidak terlepas dari begitu banyaknya dana yang dialokasikan untuk program-program pendidikan oleh pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sasaran pelatihan pada anak SMA juga dilandasi pemikiran bahwa remaja merupakan usia paling produktif dan relatif lebih mudah dalam menyerap pengetahuan dibanding kelompok usia lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini juga dinilai sebagai investasi jangka panjang yang akan menguntungkan di masa depan.
Manfaat pelatihan dirasakan langsung oleh peserta. Menurut Rizky dirinya memeroleh banyak pengetahuan, mulai dari posisi Indonesia yang ternyata menduduki peringkat keempat negara paling korup di dunia, hingga bagaimana cara generasi muda ikut serta memberantas korupsi. Ada tiga cara memberantas korupsi, yakni dengan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ujarnya.
Jumat, 17 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar