Sabtu, 14 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Artikel 1 :

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Artikel 2 :

Siswa Cerdas Istimewa ke Luar Negeri

JAKARTA -- Siswa cerdas istimewa/bakat istimewa (CI/BI) selama ini lebih banyak yang melanjutkan studi ke luar negeri. Tak jarang mereka tidak ingin pulang karena memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih baik. ''Karena itu perlu dimunculkan perasaan 'berhutang' sehingga ketika sudah berhasil, mereka akan mengabdikan ilmu dan kompetensinya kepada negara,'' ujar Sekjen Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa (Asosiasi CB/BI), Amril Muhammad, dalam seminar 'Peningkatan Pelayanan Pembelajaran MIPA Terhadap Siswa CI/BI', Kamis (29/1).

Menurut Amril, alokasi pembiayaan kegiatan pembelajaran bagi siswa CI/BI selama ini lebih besar ditanggung oleh orang tua siswa. Akibatnya, keinginan mereka untuk 'berbakti' kepada negara di masa depan relatif rendah. Karena itu, kata Amril, perlu mengupayakan akses dana lain untuk menopang kebijakan pemerintah mengenai sekolah gratis tingkat SD dan SMP.

Amril mengatakan, sekitar satu juta anak usia sekolah yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa dengan IQ di atas 125 belum terlayani pendidikan yang sesuai kebutuhan mereka. ''Padahal, anak-anak unggul ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang mampu mengembangkan potensi dan keistimewaan mereka,'' ujar Amril.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta anak CI/BI istimewa di Indonesia. Namun yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang atau baru sekitar 0,43 persen.

Namun, layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu memunculkan keunggulan mereka. ''Kompetensi anak-anak ini tidak menonjol, baru sekadar mengembangkan kepintaran. Karena itu, harus ada perbaikan dalam layanan pendidikan pada anak-anak ini,'' kata Amril.

Artikel 3 :

Ratusan Anak TKI di Sarawak tidak Bersekolah

SERAWAK -– Ratusan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah berusia sekolah di Sarawak, Malaysia, tidak memperoleh layanan pendidikan. Mereka umumnya tinggal bersama orangtua yang bekerja di ladang-ladang perkebunan. “Data terakhir ada sekitar 400 anak, tapi saya yakin lebih dari itu,” tutur Rafail Walangitan, MA, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Sarawak, Malaysia, Selasa (10/3).

Banyak TKI yang bekerja di wilayah Sarawak tidak melaporkan diri ke konsulat. Status mereka menjadi ilegal. TKI yang ilegal, menurut dia, karena banyak yang kabur dari majikan, sementara paspor mereka ditahan saat masuk bekerja. Rafail memperkirakan, ada sekitar 40 ribu TKI ilegal di wilayah ini, sementara TKI legal tercatat sebanyak 190 ribu orang.

Sebagian di antara para TKI itu memiliki anak usia sekolah. Anak-anak mereka selama ini tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Masalahnya, pemerintah Malaysia pada dasarnya tidak membenarkan pekerja membawa keluarga sehingga anak-anak yang lahir di sana menjadi ilegal dan sulit bersekolah di lembaga pendidikan formal di negeri itu. Selain itu, umumnya mereka bermukim jauh di perkebunan-perkebunan. “Kami tidak tahu kondisi yang ada di kebun. Itu sebabnya kami tidak dapat data pasti,” tutur Rafail.

Kondisi yang kurang lebih sama dialami oleh banyak anak-anak TKI di Sabah. Untuk mensiasatinya, sebagian TKI membangun lembaga pendidikan dalam komunitas sendiri. Mereka menggunakan ruang seadanya, seperti tempat ibadah dengan sistem pengajaran, tak lebih dari mengajarkan baca tulis dan hitung. Hanya saja, jumlahnya tidak banyak. Anak-anak itu pun sulit mendapatkan sertifikat untuk kelak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah membangun Sekolah Indonesia Kota Kinibalu (SIKK) di Sabah. Diresmikan Desember 2008 lalu, sekolah ini berlokasi di sebuah ruko Kota Kinabalu untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak TKI yang ada di sekitar kota ini. Selain itu, SIKK diharapkan menjadi induk bagi anak-anak TKI di kawasan perkebunan yang ada di pedalaman-pedalaman yang memperoleh layanan pendidikan, baik pendidikan nonformal, maupun pendidikan layanan khusus yang tidak diterima di sekolah formal.

Rafail menuturkan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sarawak. Saat ini, katanya, telah dibentuk pusat bimbingan sebagai tempat pembelajaran kepada anak-anak TKI yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Sarengas, Serawak. Mulai beroperasi Januari 2009, pusat bimbingan ini diselenggarakan oleh serikat pekerja perusahaan bekerjasama //Humana Child Aid Society//, organisasi non-pemerintah di wilayah itu, untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak pekerja.

Namun, menurut Rafail, pusat bimbingan ini masih menerapkan kurikulum pendidikan Malaysia. “Saya minta diajarkan ke-Indonesiaan,” tuturnya. Gayung bersambut, Hendry Gasha, Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan perkebunan itu, menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menerapkannya. Hendry mengatakan tidak keberatan kalau kurikulum Indonesia diterapkan di pusat bimbingan ini.

Selain itu, Rafail menyatakan pernah mengusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mendatangkan guru dari Indonesia untuk memberikan bekal pengetahuan pembelajaran kepada TKI yang dianggap memiliki pendidikan cukup untuk mengajarkan anak-anak mereka sendiri. Menurut dia, para TKI ada yang memiliki pendidikan cukup, bahkan ada yang sarjana. Jadi, polanya berbeda dengan di Kinibalu yang mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di SIKK.

Sebenarnya, menurut dia, pembelajaran antar sesama TKI sudah diterapkan di beberapa tempat selama ini. Pola itu tumbuh sendiri karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Hanya saja, pola pembelajaran di antara sesama TKI semacam itu belum dikelola secara khusus. “Saya tidak bisa membayangkan kalau mendatangkan guru, seperti halnya di SIKK,’’ tuturnya. Itu karena tempat mereka bekerja berada di pedalaman dan lokasinya terpisah.

Artikel 4 :

Anak-anak TKI Kesulitan Dapat Layanan Pendidikan

JAKARTA - Anak-anak TKI yang berada di luar negeri kini sulit mendapatkan layanan pendidikan seperti di Indonesia. Selain persoalan dana, kebijakan negara setempat menjadi hambatan untuk mendirikan sekolah seperti di Indonesia.
Untuk itu, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa akan menggunakan dana APBN Perubahan 2007 sebesar Rp 25 miliar untuk meningkatkan pelayanan pendidikan anak-anak Indonesia di luar negeri, khususnya anak-anak TKI yang sangat sulit mendapat pendidikan.
Menurut Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa pada Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso, selain pendanaan dan kebijakan pendidikan di negara setempat, jumlah murid yang terbatas di tiap negara juga menyebabkan sekolah semacam itu perlu penanganan lebih khusus.
Hingga kini pemerintah baru bisa mendirikan 14 sekolah khusus bagi anak-anak Indonesia di luar negeri.
''Jumlah sekolah Indonesia di luar negeri memang masih terbatas. Bahkan di Damaskus, sebuah ruang kelas digunakan untuk melayani murid TK, SD, hingga SMA secara bersamaan karena jumlah muridnya sedikit,'' kata Eko di Jakarta, Rabu (20/6).
Dikatakan, ke-14 sekolah Indonesia tersebar di Asia, Eropa, dan Afrika, di antaranya di Kuala Lumpur (Malaysia), Bangkok (Thailand), Davao (Filipina), Tokyo (Jepang), Yangoon (Myanmar), Jeddah dan Riyadh (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Denhaag (Belanda), Damaskus (Siria), Moskow (Rusia), Beograd (Yugoslavia) dan Wassenar (Belanda).
Relatif Sedikit
Eko menjelaskan, dari jumlah itu, sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan yang sama dengan di Indonesia relatif sedikit, bahkan mungkin hanya sekolah di Kuala Lumpur.
''Kendala utama, pemerintah bersangkutan melarang berdirinya sekolah-sekolah semacam itu. Selain itu, karena jumlah siswanya terbatas, maka satu kelas kerap diisi oleh berbagai tingkatan usia dan kelas,'' ujarnya.
Karena itu, tambah Eko, sekolah-sekolah semacam itu dianggap lebih cocok jika menggunakan sistem pendidikan layanan khusus atau pendidikan khusus.
Dia menjelaskan, untuk meningkatkan pendidikan layanan khusus bagi sekolah Indonesia di luar negeri, maka pada tahun 2007 Depdiknas melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa akan menyalurkan dana yang berasal dari APBN Perubahan 2007.
''Layanan pendidikan ini termasuk bagi anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Jeddah yang akan memperoleh pendidikan layanan khusus (PLK) atau sekolah khusus mulai 2007,''

Artikel 5 :

NTT Selenggarakan Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pendidikan Khusus

Artikel 1 :

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna

JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).
Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).
Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.
Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Artikel 2 :

Sejuta Anak Cerdas Belum dapat Pendidikan Layak

JAKARTA, KAMIS - Sekitar satu juta anak usia sekolah yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa dengan IQ di atas 125 belum terlayani pendidikan yang sesuai kebutuhan mereka. Padahal, anak-anak unggul ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang mampu mengembangkan potensi dan keistimewaan mereka.
Amril Muhammad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa (Asosiasi CB/BI), di Jakarta, Rabu (28/1), mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah yang memiliki kualifikasi cerdas istimewa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.
Akan tetapi, jumlah siswa cerdas/berbakat istimewa yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang. Artinya, baru sekitar 0,43 persen siswa cerdas/berbakat istimewa yang terlayani.
Namun, layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu memunculkan keunggulan mereka.
"Kompetensi anak-anak ini tidak menonjol, baru sekadar mengembangkan kepintaran. Karena itu, harus ada perbaikan dalam layanan pendidikan pada anak-anak ini," kata Amril.
Belum optimalkan potensi
Kebijakan pemerintah mengakomodasi anak-anak cerdas istimewa di kelas-kelas akselerasi, menurut Amril, bukanlah satu- satunya metode yang tepat. Sebab, kebutuhan yang dipenuhi baru pada cepatnya selesai masa studi, belum pada pengembangan potensi serta keunggulan kompetensi anak-anak tersebut.
Amril menambahkan, banyak anak cerdas istimewa di daerah justru merasa enggan memilih kelas akselerasi. Ada ketakutan jika mengikuti metode yang ditawarkan pemerintah saat ini, mereka akan tertekan dan kehilangan masa remaja mereka.
Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, mengakui jika penanganan terhadap anak-anak cerdas/berbakat istimewa yang sebenarnya diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak belum optimal. Citra kelas akselerasi yang selama ini diandalkan untuk melayani anak-anak ini justru belum dirasakan manfaatnya karena keistimewaan mereka tidak terlihat.
Menurut Eko Djatmiko, pembenahan sudah mulai dilakukan dalam layanan pendidikan di kelas-kelas akselerasi. Anak-anak cerdas istimewa dengan IQ di atas 125 itu belajar bersama untuk bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Di luar mata pelajaran tersebut, anak-anak cerdas istimewa bergabung dengan siswa reguler lainnya.

Artikel 3 :

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Artikel 4 :

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.
Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.
Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.
Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.
Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.
Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.
Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.
Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.
Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.
Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.
Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

Artikel 5 :

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Pendidikan Keagamaan

Artikel 1 :

Menag: Pendidikan Islam Belum Kondusif
Kamis, 12 Februari 2009 | 20:27 WIB

SEMARANG, KAMIS - Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum kondusif. Hal ini karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif.
Demikian disampaikan Menteri Agama Maftuh Basyuni melalui sambutannya dalam Seminar Nasional Membangun Pendidikan Islam Berbasis ICT (Information and Communication Technology), di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/2).
Menurut Menteri Agama, ketidaksiapan tersebut dapat terlihat dari kondisi budaya dan keagamaan yang masih rapuh, taraf pendidikan umat yang masih rendah, kelembagaan pendidikan yang hanya meniru sistem dari luar, pembelajaran yang tidak inovatif karena hanya melestarikan yang sudah ada, dan orientasi pendidikan yang lebih banyak untuk menjadi pekerja dibandingkan menciptakan lapangan pekerjaan.
"Apa yang saya paparkan bukan untuk memupuk pesimisme, melainkan menjadikan landasan berpikir membangun pendidikan Islam yang cocok dengan perkembangan zaman saat ini," ujar Maftuh.
Untuk itu, Maftuh mengemukakan tiga langkah yang bisa ditempuh agar pendidikan Islam dapat berkesinambungan dengan dinamika masyarakat. Pertama, umat Islam harus berani melakukan lompatan kuantum dengan keluar dari kebiasaan atau pola hidup bermalas-malasan, kurang percaya diri, tidak disiplin, dan produktivitas kerja rendah. Kedua, melakukan transformasi kelembagaan pendidikan. Ketiga, memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi dengan ICT.
"Sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tak ragu lagi, teknologi telah mengubah cara pandang masyarakat," ucapnya.
Rektor IAIN Walisongo Abdul Djamil mengatakan, dalam pendidikan berbasis ICT, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan melainkan sebagai penuntun muridnya dalam mengakses informasi yang tak terbatas.
Maftuh mengungkapkan, terdapat 28 perguruan tinggi Islam yang terdiri dari 14 IAIN, 6 UIN, dan 8 STAIN yang akan menerapkan pendidikan Islam berbasis ICT ini. Perusahaan yang digandeng sebagai penyedia teknologi dalam hal ini adalah PT Telkom.
Maftuh menambahkan, penerapan ICT dalam lembaga pendidikan Islam juga memungkinkan perguruan tinggi Islam untuk bersaing dengan perguruan tinggi negeri.

Artikel 2 :

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

Artikel 3 :

Depag Tak Sanggup Berikan Pendidikan Bermutu

Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.
Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun.

Artikel 4 :

Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan Keagamaan Swasta

Peraturan Pemerintah tentang pendidikan agama dan keagamaan, memang mendapat sambutan positif dari kalangan Ormas Islam. Namun dari kalangan lain mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola swasta, yang juga telah berperan bagi pencerdasan bangsa.
Seperti yang dikatakan ang-gota presidium Masyarakat Pen-didikan Sulut (MPS), Febry Dien ST dan HA Assa SPd, Sabtu (17/11), pemerintah sekiranya lebih memperhatikan Lembaga Pen-didikan Keagamaan (LPK) swasta. Di samping itu juga memperhatikan lembaga pen-didikan umat minoritas.
Menurut keduanya, peme-rintah sekiranya dalam mem-perhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan tidak pilih kasih dan mengenyam-pingkan LPK swasta. Perlu diketahui Peraturan Peme-rintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Aga-ma dan Keagamaan yang belum lama ini ditetapkan Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono.
Terwujudnya PP Nomor 55 Ta-hun 2007 ini merupakan tuntu-tan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pen-didikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah.
Pemerintah harus mengimple-mentasikannya sehingga mem-beri pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khusus-nya yang dikelola swasta. Se-perti tercantum pada Pasal 12 PP, pemerintah atau pemerintah daerah memberi bantuan sum-ber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Juga pemerintah melindungi keman-dirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak ber-tentangan dengan tujuan pen-didikan nasional.
Pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan pemberian ban-tuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga ke-pendidikan, dana, serta sa-rana dan prasarana pendi-dikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendi-dikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendi-dikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyara-kat. Dan bantuan dana pen-didikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendi-dikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Artikel 5 :

Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.

Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.

Pendidikan Anak Usia Dini

Artikel 1 :

Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Perpustakaan

PAUD Berbasis Perpustakaan

Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan
khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang
terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi
perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat.
Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk
menumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak
bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang
cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual
mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia
yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai
prioritas nasional dan global.

Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas
perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di
ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini
memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan
emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik,
puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat
bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi
sosialnya.

Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar,
papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang,
kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini
sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata
dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis
lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring
kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun
lingkaran.

Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar
seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar.
Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian
bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan,
ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang
dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan
tegas.

Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat
dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan,
gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar
anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita
bergambar.

Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di
ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng.
Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang
hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi
maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam
mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara
pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat
dilakukan oleh televisi maupun VCD.

Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat,
cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak
yang mencari dan belajar 'membaca'sendiri
buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara
tradisi lisan dan tradisi baca.

Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki
beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi
masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK
dapat memanfaatkan layanan ini.

Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses
oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke
bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan
ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada
batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di
perpustakaan.

Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan
bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan
sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di
dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap
membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaan yang
membosankan melainkan menyenangkan.

Artikel 2 :

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia.

Artikel 3 :

PAUD Berbasis Aqidah Islam

Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas pemimpin, yakni (1) berkepribadian Islam,(2) menguasai tsaqofah Islam, dan (3) menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai. Apabila ke tiga tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli bangsa.
Setiap orang harus siap untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan itu sebuah sunatullah dan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak. Sebagaimana ditegaskan didalam sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya... (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya dengan sistem hidup Islam. Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem kehidupan Islam, pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan.
Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses pendidikan. Proses pendidikan dapat terjadi di mana saja, sehingga berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan tempat terjadinya proses tersebut dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan integral sangatlah khas dan unik. Kurikulum ini memiliki ciri- ciri yang sangat menonjol pada arah, azas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.
Azas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Azas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi diantara semua komponen penyelenggara pendidikan. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah Islam sebagai azas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan istilah lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan. Oleh sebab itu, implementasi pendidikan anak usia dini adalah PAUD BAI.

Artikel 4 :

Pihak-Pihak yang Berperan dalam PAUD

Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat?kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh sebab itu masalah?masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus difahami agar kita dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing?masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama. Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal. Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara. Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan generasi.
Selain keluarga dan sekolah, partai dan organisasi masyarakat seperti majelis ta’lim, mempunyai peran dalam melahirkan generasi berkualitas pemimpin. Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi politikus yang ulung dan tangguh. Oleh sebab itu, partai dan ormas ini juga berperan dalam membina para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar. Dari seluruh pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi peduli bangsa, tentu negaralah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan generasi.
Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak. Negara berkewajiban menindak perilaku penyimpangan yang berdampak buruk pada masyarakat dll. Negara sebagai penyelenggara pendidikan generasi yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan umat secara layak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar?besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi corak generasi yang dihasilkannya.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara?cara yang harus dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka. Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang mempunyai nilai tersendiri di sisi Allah SWT. Betapa besar jasa para pendidik yang hingga ada ungkapan: "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Tentu saja pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini merupakan tanggungjawab negara.

Artikel 5 :

Mengelola Pendidikan Anak Usia Dini

Tiga substansi dasar yang menjadi patologi pendidikan yang sampai saat ini yang belum juga belum teratasi. Pertama, buruknya mutu pendidikan juga dapat dilihat dari hasil pengembangan sumber daya manusia yang dinyatakan dalam Human Development Index (HDI).HDI merupakan indeks komposit yang diukur dari beberapa komponen, meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. HDI Indonesia tergolong rendah, berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), prestasi siswa Indonesia di bidang matematika mendekati level rendah, sedangkan Malaysia pada level Menengah menuju level tinggi, dan Singapura berada pada level tingkat lanjut.

Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.

Ketiga hal itu merupakan sasaran utama yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan dalam perspektif makro. Kenyataannya, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat terwujud secara optimal. Dalam konteks ini, pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dan direncanakan bagaimana formulasi yang tepat. Dengan demikian, pendidikan mau tidak. mau akan menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya yang kemudian diartikulasikan dengan istilah manajemen.

Pengelolaan lembaga pendidikan tidak bisa dikelola dengan waktu sisa, manajemen tukang cukur, dan kemampuan minim, meminjam falsafah Jawa “Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane”, artinya kita dalam berjuang perlu pengorbanan bukan hanya angan-angan tanpa mau memikirkan keuatan materi untuk berjuang. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan kunci utama dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Peserta didik akan memiliki pribadi yang baik bila diasuh oleh pendidik yang memiliki kepribadian yang baik pula, murid akan memiliki keinginan belajar yang tinggi bila dididik oleh pendidik yang mempunyai animo tinggi untuk belajar, anak akan memiliki keterampilan bila dibimbing oleh pembimbing yang cekatan dan tanggap lingkungan, anak dapat hidup berdisiplin, bersih, tertib bila dia dibina oleh pendidik yang memiliki pola hidup teratur, demikain seterusnya.

Pengelolaan pendidikan bukanlah mengelola sebuah tempat usaha barang, melainkan mengelola sumber daya manusia dengan peradaban dimasa mendatang. Suatu bencana besar ketika manusia mengelola pendidikan hanya dilihat dari kacamata pribadi, orang yang demikain ini termasuk melemahkan generasi mendatang. Begitui pula bagi orang yang mengembangkan pendidikan hanya mengandalkan kekuasaan atau power semata. Untuk itulah dibutuhkan formula yang tepat dalam mengatur segala permasalahan manajemen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pertama, pengelolaan PAUD selama ini terlalu banyak seninya dibanding dengan ilmunya, sehingga gaya manajemen yang dilakukan lebih bersifat try and error. Kedua, penerapan manajemen “gotong royong” artinya semua orang melakukan semua pekerjaan, tidak ada pembagian kerja yang tegas dan jelas, sehingga proses manajemen tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Bahkan sering terjadi benturan antara satu unit dengan unit lainnya, ini menyebabkan pendayagunaan sumberdaya organisasi tidak secara sinergis dan banyak pemborosan. Dalam hal ini yang terjadi adalah sama-sama bekerja, tetapi bukan kerjasama. Ketiga, gaya manajemen tukang cukur, yaitu satu orang melakukan semua pekerjaan, mulai dari membuka kios, menyapu, memotong rambut, menutup kios, dan mengelola keuangan sekaligus. Dalam organisasi banyak orang yang “merasa” dirinya mampu dalam segala hal (ngabehi) dan tidak memberikan porsi pekerjaan kepada orang lain. Akibatnya organisasi yang semestinya dapat menjalankan beban pekerjaan yang lebih banyak, justru tidak dapat melakukan pekerjaan karena tersentralisasi di tangan beberapa orang saja, sedang yang lain justru kurang pekerjaan. Keempat, adalah manajemen “sungkanisme”, yaitu suatu manajemen yang tidak asertif. Budaya sungkan (segan) menegur kesalahan teman dan budaya marah kalau ditegur teman membuat organisasi berjalan kesana-kemari tak tentu arah, sehingga tak bisa mencapai tujuan yang dikehendaki.

Menata Manajemen

Salah satu pendekatan baru dalam perencanaan publik yang sedang digalakkan adalah perencanaan partisipatif, yakni dengan melibatkan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, sampai pemanfaatan program yang direncanakan. Hal ini dilatari oleh asumsi bahwa orang yang merasa terlibat dalam proses sejak perencanaan sampai tahap akhir merasa ikut memiliki dan ikut bertanggungjawab (sense of responsibility and sense of belongingness) terhadap keberhasilan program. Dalam hal ini dirasa perlu melibatkan para tokoh agamam masyarakat, dan orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi cukup.
Apabila tahap perencanaan telah dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah pengorganisasian, yakni menyusun dan merangkai berbagai unsur sumberdaya organisasi dan lingkungan yang ada sehingga bisa dicapai hasil yang maksimal. Dalam hal ini perlu kita hindari merangkai dua bahan atau lebih yang saling bertentangan atau kontradiktif sehingga akan saling melemahkan. Justru yang kita cari dan rangkai adalah unsur-unsur yang bisa saling mendukung dan menunjang, sehingga hasilnya akan lebih memperkuat kebersamaan unsur-unsur tersebut, atau yang biasa disebut dengan “sinergis”

Kelemahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita dalam mengorganisir sumber daya manusia PAUD adalah menentukan orangnya terlebih dahulu, baru kemudian organisasinya. Padahal, tahap pengorganisasian yang benar adalah menentukan pekerjaan apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi, lalu unit-unit mana yang melakukan pekerjaan tersebut, kemudian disusun struktur organisasi yang menempatkan masing-masing unit tersebut dalam rangkaian struktur organisasi yang sinergis, lalu ditentukan kualifikasi tenaga-tenaga yang diperlukan untuk menangani masing-masing unit. Baru pada tahap terakhir adalah menentukan personal-personal yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menangani pekerjaan di masing-masing unit.
Dalam menempatkan personal hendaknya diingat prinsip menempatkan orang pada tempat yang tepat sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi pada waktunya (the right man in the right place and right time). Hendaknya dihindari menempatkan personal berdasarkan faktor suka atau tidak suka (like and dislike).

Kelemahan lain dalam pengorganisasian PAUD adalah mekanisme hubungan interaksi antar segenap pihak dalam lembaga. Pengorganisasian pada dasarnya menempatkan masing-masing personal dalam tata hubungan yang sistematik, sehingga jelas siapa mengerjakan apa dan bertanggungjawab kepada siapa.

Kedua, adalah ukuran keberhasilan kerja yang tidak jelas. Hal ini erat kaitannya dengan budaya kita yang “just do it” atau pokoknya sudah melakukan. Akibatnya proses pengukuran (kriteria) keberhasilan kinerja personal tidak dilakukan atau kalau dilakukan maka pengukurannya tidak objektif.

Ketiga, tiadanya norma tertulis. Kelemahan umum dari lembaga PAUD adalah organisasi berjalan secara informal dan tak tertulis meskipun itu menyangkut organisasi formal yang perlu landasan tertulis. Dalam aturan tertulis, perlu diatur mekanisme hubungan organisasional antar personal, hak dan kewajiban masing-masing personal, arus pekerjaan dan tanggungjawab serta sanksi-sanksi dan aturan-aturan lain yang diperlukan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan PAUD. Pertama adalah, iklim kebersamaan yang sehat. Organisasi adalah kerjasama antar dua orang atau lebih sehingga keberhasilan organisasi adalah berkat kerjasama beberapa orang, dan bukan atas hasil kerja seseorang atau sekelompok orang yang mengaku-ngaku paling berjasa. Kedua adalah, keadilan bagi pendidik. Seorang pendidik yang merasa diperlakukan tidak adil akan turun kinerjanya. Rasa tidak adil ini bisa muncul dalam berbagai peluang, antara lain dalam pengangkatan jabatan yang tidak terbuka, atau perbedaan dalam pemberian ganjaran (reward) dan sanksi (punishment). Ketiga adalah, penghargaan terhadap kinerja pendidik. Penghargaan disini tidak hanya berupa materi melainkan juga penghargaan yang berupa immaterial, seperti pujian atau peningkatan status.

Dalam menata PAUD disamping adanya Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (pelaksamaam), juga dipersyaratkan adanya Controlling (pengendalian) yang kemudian disingkat dengan POAC. Tanpa adanya pengendalian, maka jalannya organisasi tidak akan berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Lantas, yang menjadi tujuan dasar dari pengendalian, Pertama adalah, apakah jalannya organisasi telah ada pada jalur yang benar? Kedua adalah, apakah target bisa dicapai secara kuantitas, kualitas, dan dalam jangka waktu tertentu?. Pertanyaan pertama mengacu pada apakah cara melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah ditentukan dalam jabaran kerja (job description). Sedang yang kedua mengacu pada apakah hasil pekerjaan (out-put) yang ditetapkan bisa dicapai sesuai denga target waktu, jumlah dan kualitas.

Untuk itulah, perlu ditetapkan siapa yang akan melakukannya? Yayasan penyelenggara PAUD memiliki hak dan fungsi sebagai pengendali kegiatan belajar mengajar PAUD. Namun permasalahannya adalah, bahwa kebanyakan personal yang menjadi pengurus bidang pendidikan kurang atau tidak menguasai apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga penyelenggara. Hal ini dilatari oleh kurangnya kualitas SDM, juga seringnya menempatkan personal yang tidak tepat pada suatu jabatan dalam organisasi.

Pengendalian pertama yang harus dilakukan adalah pengendalian bagaimana pamong PAUD melakukan pekerjaan mendidik anak. Pengendalian ini dilakukan secara berkala dalam rangka untuk dapat memperbaiki kinerja pamong. Pengendalian lainnya yang tak kalah pentingnya adalah pengendalian dalam bidang keuangan. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mencurigai tindak penyelewengan, melainkan dimaksudkan untuk mengantisipasi kesulitan-kesulitan masalah keuangan.

Maka dalam kaitannya dengan kompleksitas kelembagaan PAUD, maka yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah bentuk kelembagaan PAUD (TK,KB,TPA,TPG). Selanjutnya adalah merangkai lebih lanjut sumberdaya organisasi, baik manusianya maupun non manusianya dalam jaringan tata kerja organisasi PAUD struktural, kualifikasi tenaga yang menanganinya, baru kemuudian merekrut tenaga yang memenuhi kualifikasi yang ditentukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengeorganisasian. Langkah lain yang tidak bisa ditinggalkan bila kita akan membentuk PAUD unggulan adalah merangkai kerjasama dengan berbagai pihak dalam tatanan jaringan kerja yang saling menguntungkan.

Dengan demikian, yang perlu diperhatikan dalam menjalankan PAUD. Pertama adalah adanya iklim kebersamaan yang sehat. Kerjasama antar dua orang atau lebih sehingga keberhasilan lembaga adalah berkat kerjasama beberapa orang, dan bukan atas hasil kerja seseorang atau sekelompok orang yang mengaku-ngaku paling berjasa. Kedua adalah, keadilan bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan turun kinerjanya. Rasa tidak adil ini bisa muncul dalam berbagai peluang, antara lain dalam pengangkatan jabatan yang tidak terbuka, atau perbedaan dalam pemberian ganjaran (reward) dan sanksi (punishment).dan Ketiga adalah, penghargaan terhadap kinerja pendidik. Penghargaan disini tidak hanya berupa materi melainkan juga penghargaan yang berupa immaterial, seperti pujian atau peningkatan status.

Pendidikan Informal

Artikel 1 :

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

Artikel 2 :

Manakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.
"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).
Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.

Artikel 3 :

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.
Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-anak mereka bisa berguna bagi bangsa dan negara.

Artikel 4 :

Perbanyak Sekolah Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.
Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.
Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.
Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.
Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.
Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.
Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini.

Artikel 5 :

Media Massa sebagai Pelaku Pendidikan Informal Terbesar

Pemerintah berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negara. Selama ini peran tersebut diurusi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag) melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Di sisi lain, pada pendidikan jalur informal pemeran utamanya adalah masyarakat sendiri dan yang paling besar pelakunya adalah media massa.
" Ada pendidikan yang tidak diregulasi. Dilakukan oleh keluarga ataupun oleh masyarakat secara mandiri tanpa ada dukungan dana dari APBN. Pendidikan informal yang terbesar melakukan adalah justru media massa," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara silaturahmi Mendiknas dengan para pimpinan media massa di Hotel Sultan, Jakarta.
Hadir dalam acara Editor In Chief Harian Indo Pos Imam Syafi'i, Direktur Utama ANTARA Ahmad Muklis Yusuf, Director of Product Radio Smartfm Budi Setiawan, President Director TVRI I.G.N. Arsana, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, Chief Editor The Jakarta Post Endy M. Bayuni, dan Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV Makroen Sanjaya. Turut hadir mendampingi Mendiknas para pejabat eselon I Depdiknas.
Mendiknas menyampaikan, paradigma pendidikan untuk semua (Education for All) adalah membangun manusia seutuhnya bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Pendidikan ini, kata Mendiknas, bersifat inklusif dan dilakukan sepanjang hayat. Untuk itu pemerintah harus memberikan pelayanan yang memungkinkan setiap warga negara untuk setiap saat menjadi pembelajar.
Meski demikian, lanjut Mendiknas, tidak mungkin kalau tugas pelayanan pendidikan seluruhnya diserahkan kepada Depdiknas maupun Depag. " Ada porsi besar yang diambil masyarakat sendiri. Di sinilah betapa besarnya peran media massa," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas memaparkan hasil-hasil pembangunan pendidikan nasional periode 2005-2007. Mendiknas menyampaikan kerangka hukum reformasi pendidikan di Indonesia dimulai sejak amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003.
Setelah itu disusul UU Guru dan Dosen Tahun 2005 dan UU Perpustakaan Tahun 2007 dan sedang dalam proses adalah UU Badan Hukum Pendidikan. " Ini perlu saya paparkan untuk menjadi jawaban saya terhadap keluhan masyarakat tentang ganti menteri maka ganti kebijakan. Ini tidak akan bisa terjadi kalau sudah dipatri dalam undang-undang," kata Mendiknas.
Mendiknas mengajak kepada semua media massa untuk bekerjasama memajukan pendidikan dan upaya yang dilakukan bersama tidak saling meniadakan. " Jangan sampai yang dilakukan oleh media itu kemudian dianulir oleh Mendiknas atau yang dilakukan oleh Mendiknas itu dianulir oleh media massa di dalam kehidupan sehari-hari," kata Mendiknas.

Pendidikan Non Formal

Artikel 1 :

Anggaran Pendidikan Non Formal Tahun 2008 Naik

Jakarta ( Berita ) : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.
“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).
Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.
“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”
Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.
“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.
“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.
Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.
Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.
Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,” kata Bambang.

Artikel 2 :

Korporatorial Pendidikan Non Formal
Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru


Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Fleksibilitas waktu
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

Artikel 3 :

Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Sasaran
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat

Fungsi
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.


Artikel 4 :

Peran Strategi Pendidikan Non Formal

Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing.
Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun
Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.

Artikel 5 :

Program Pendidikan Non Formal (PNF) di Surabaya
PROGRAM UNGGULAN PNF
EDI BASUKI*

Konon, program Pendidikan Nonformal (PNF) diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan (dalam rangka pemeratan dan percepatan wajib belajar pendidikan dasar) kepada masyarakat yang belum sekolah, putus sekolah dan buta aksara, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap kepribadian mandiri.
PNF yang juga berfungsi sebagai pelengkap, pengganti dan penambah pendidikan formal dalam konsep pendidikan sepanjang hayat (long live education), dijabarkan dalam beberapa progam yang menjadi unggulan dari Ditjen PNF, diantaranya ; (1) Program Pendidikan Kesetaraan yang terdiri dari kelompok belajar paket A setara SD/MI, kelompok belajar paket B setara SMP/MTs dan kelompok belajar paket C setara SMA/MA. Dimana program pendidikan kesetaraan ini semakin diminati oleh masyarakat miskin yang tidak mempunyai dana untuk memasuki sekolah formal, dimana motivasi peserta didiknya adalah mengejar ijasah untuk keperluan memasuki dunia usaha/dunia industri. (2) Pendidikan Keaksaraan yang diarahkan pada penguasaan ketrampilan fungsional, (3) Peningkatan Budaya Baca, sebagai upaya memelihara ketrampilan calistung melalui penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat sebagai pendukung dimana program kesetaraan dan program keaksaran berada. (4) Pendidikan Kecakapan Hidup, dalam rangka memberdayakan peserta didik. Termasuk program baru yang bernama KWD maupun KWK ciptaan Direktorat.kursus dan kelembagaan.
Program-program ini sepenuhnya ‘ditangani’ dalam arti dibina, didampingi dan diawasi oleh Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI), sebagai Unit Pelaksana Teknis Ditjen PNF. Sedangkan dalam pelaksanaan di lapangan, penyelenggaraannya diserahkan kepada lembaga mitra yang dipilih melalui seleksi kelayakan agar program benar-benar tepat sasaran. Lembaga mitra ini terdiri dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Organisasi sosial kemasyarakatan dan Organisasi keagamaan dengan syarat harus memiliki akta kelembagaan yang dikeluarkan oleh notaris serta rekening bank atas nama lembaga, bukan atas nama pengurusnya.
Berkenaan dengan itu, BPPNFI regional IV sebagai UPT Ditjen PNF mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengembangan dan pengkajian model serta media pendidikan nonformal, juga fasilitasi sumber daya pendidik pendidikan nonformal serta pengembangan dan pengelolaan sistem informasi yang berkaitan dengan program dan ketenagaan pendidikan nonformal, berkewajiban mengendalikan pelaksanaan program dengan melakukan monitoring dan evaluasi, baik langsung maupun tidak langsung ke daerah penerima dana program yang menjadi binaan BPPNFI. Ini sesuai dengan Visi yang diembannya, yaitu terwujudnya program pendidikan nonformal yang unggul dan relevan menuju masyarakat yang cerdas dan kompetitif.
Agar visi yang diembannya bisa membumi, maka BPPNFI merasa perlu melakukan berbagai macam pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi para pekerja pendidikan nonformal dalam melaksanakan program. Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan dan pelatihan hendaknya tidak dilepaskan dari pemanfaatan potensi dan keunggulan masing-masing daerah, sehingga materinya benar-benar sesuai untuk menjawab tantangan di daerah masing-masing.
Apalagi tahun depan anggaran pendidikan akan mengalami kenaikan yang signifikan, sesuai dengan amanat Undang-undang, 20% atau sekitar 244 trilyun. sehingga diperlukan kinerja yang baik agar penggunaan dana yang dituangkan dalam program guna memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan tidak banyak mengalami distorsi (yang berpeluang terjadinya penyimpangan).
Mudah-mudahan program unggulan PNF benar-benar unggul dalam aplikasinya serta dipandang “bersih” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membelanjakan anggaran dan pengadaan sarana prasarana pendukung program. Wallahu’alam

Pendidikan Tinggi

Artikel 1 :
Sistem Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sangat berbeda dengan di Inggris. Pendiri Republik Amerika Serikat sangat membatasi kekuasaan pemerintah di dalam meregulasi pendidikan tinggi yang dilandasi pada kekhawatiran timbulnya regulasi yang tersentralisir oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu di dalam UU Republik Amerika Serikat, institusi sosial yang berbasis sukarela (voluntary associations) memainkan peran cukup kuat di dalam regulasi berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan tinggi.
Perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di AS dimulai pada permulaan tahun 1780-an ketika the University State of New York diberi wewenang oleh Negara Bagiannya untuk mereview akademi-akademi yang ada di wilayahnya, khususnya meregistrasi kurikulum yang digunakan oleh setiap institusi pendidikan tinggi. Negara bagian lain ikut mengadopsi cara ini, misalnya Iowa pada tahun 1846, Washington pada tahun 1909, Virginia pada tahun 1912 dan Maryland pada tahun 1914.

Pada tahun 1847, American Medical Association merupakan asosiasi profesi pertama yang melakukan penilaian mutu pendidikan dokter secara sukarela. Akan tetapi, membutuhkan waktu hampir 60 tahun, untuk akhirnya semua fakultas kedokteran bersedia dinilai mutunya secara eksternal dan melakukan perbaikan sesuai rekomendasi.
Pada awal abad 20, menjamurlah berbagai asosiasi institusi pendidikan dari berbagai bidang yang berjumlah 602. Pada tahun 1930, North Central Association mengadopsi prinsip akreditasi yang lebih sederhana dan menggabungkan beberapa asosiasi institusi pendidikan untuk melakukan akreditasi.
Pada tahun 1930, ada dorongan yang kuat agar Pemerintah mengambil alih tanggungjawab penjaminan mutu pendidikan tinggi dan lebih melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini untuk menghindari institusi pendidikan tinggi yang beroperasi di bawah standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi dan kualifikasi yang tidak jelas. Akan tetapi melalui berbagai diskusi yang mendalam oleh berbagai pihak, akhirnya diputuskan penjaminan mutu pendidikan tinggi tetap dilakukan oleh asosiasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi yang merupakan non-governmental organization.
Pada tahun 1960-an terjadi perubahan situasi karena dana publik yang dialokasikan untuk institusi pendidikan tinggi melalui Departemen Pendidikan sangat besar. Pemerintah Federal merasa perlu untuk terlibat langsung di dalam akreditasi institusi pendidikan tinggi dalam rangka menentukan institusi pendidikan yang mana yang layak menerima dana publik. Akibatnya, ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian dan Asosiasi institusi yang berjumlah ribuan.
Akhirnya pada tahun 1968, dibentuklah Division of Accreditation and Institutional Eligibility pada US Office of Education yang berfungsi untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga-lembaga akreditasi volunter yang berbasis dari asosiasi institusi dan asosiasi profesi.
Pada tahun 1979 dibentuklah Council on Postsecondary Accreditation (COPA) untuk menyatukan semua upaya-upaya akreditasi institusi pendidikan tinggi, baik oleh Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, maupun asosiasi profesi. COPA kemudian aktif melakukan riset-riset di bidang akreditasi pendidikan tinggi untuk mencari bentuk dan konsep yang paling tepat.

Artikel 2 :
Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.
Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.
Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.
Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.
Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.
Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.

Artikel 3 :

Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Senin, 2 Maret 2009 | 01:39 WIB
Oleh Anita Lie
Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).
Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.
Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.
Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.
Liberalisasi pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis. Saat pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemashalatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku bisnis.
Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sementara itu kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN—mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri—memberi berbagai paket dengan prosentase masing-masing.
Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal kian makin dikurangi prosentasenya, Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri, bertambah. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan prosentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup.
Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan, akan menjadi enerji negatif di masyarakat.
Alternatif Solusi
Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melalui program hibah dan kompetisi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga equilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitasi pelaku bisnis dalam sektor pendidikan. (Dikotomi PTN an PTS tak lagi relevan saat mereka besaing memerebutkan ceruk pasar).
Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menseleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju (asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini, PTN dan PTS diberi kesempatan untuk bersaing secara adil guna meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.
Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, Sampoerna Foundation dan lainnya), sudah cukup berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberi beasiswa bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari korporasi ini perlu dihargai. Apapun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yang bisa berperan bagi bangsa dan masyarakat.
Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat, akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.

Artikel 4:

Industri Pendidikan Tinggi
Harian Kompas - Rabu, 14 Januari 2009 | 00:25 WIB
Amich Alhumami
Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.
Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.
Industri pendidikan
Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.
Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.
Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.
Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).
Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.
Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.
Tiga motif
Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.
Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.
Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.
Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.
Bahaya
Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.
Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.
Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.
Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.
Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.
Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.
Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.
Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.
Amich Alhumami Penekun Kajian Pendidikan; Berafiliasi dengan Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas

Artikel 5 :

Implementasi Teknologi Nano: Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin
kania

Seminar Pembaruan PendidikanBANDUNG, itb.ac.id - Mesin merupakan teknologi yang dekat dengan kehidupan masyarakat modern. Saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan membutuhkan mesin dalam jenis beragam yang berujung pada bertambahnya kebutuhan akan tenaga ahli. Kondisi demikian seharusnya menciptakan link and match antara industri dengan perguruan tinggi. Kenyataan tentang adanya sarjana teknik mesin yang tidak bekerja sesuai bidangnya serta perkembangan teknologi dunia yang mengarah pada nanotechnology mendorong pertemuan untuk meninjau ulang sistem pendidikan yang ada.

Menanggapi hal tersebut, bertempat di Aula Barat ITB, Sabtu (9/11), para praktisi pendidikan berkumpul dalam Seminar Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin. Diprakarsai oleh Ikatan Alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972, seminar ini menjadi ajang pemaparan kondisi pendidikan jurusan teknik mesin pada universitas di dalam dan luar negeri, serta pembahasan nanotechnology yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Senat Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), Majelis Guru Besar Aktif, Majelis Guru Besar Purna Bakti, MWA Dewan Audit, Perwakilan dari jurusan Teknik Mesin dari berbagai universitas, serta para alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972. Turut hadir sebagai pembicara antara lain Dekan FTMD, Dr. Ir. Andi Isra Mahyuddin; Prof. Amer Noordin Darus et.all. dari Malaysia; Gang Chen, Warren and Towneley Professor dari MIT; Dr. Ratno Nuryadi dari BPPT; Prof. Dr. Ir. Tresna P. Soemardi dari Universitas Indonesia; Mantan Profesor ITB, Dr. Ir. Sri Hardjoko Wirjomartono dan Dr. M. Ansjar; serta Dr. Yasraf Amir Piliang MA dari Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Disampaikan oleh Sri Hardjoko dalam makalahnya yang berjudul Perkembangan Proses Manufaktur dan Pemutakhiran Kurikulum Program Studi Teknik Mesin, industri mesin merupakan tulang punggung industri secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, industri mesin di Indonesia masih lemah dalam hal desain komponen dan produk, teknologi produksi, teknik pengukuran, dan teknologi operasional perkakasnya. Sementara saat ini, perkembangan industri dunia diarahkan pada nano manufaktur.

Senada dengan seminar yang disampaikan oleh Gang Cheng, di dunia barat, teknologi nano kian meluas perkembangannya. Perkembangan teknologi ini di Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 2000 dan sejak 2003, bahasan tersebut telah menjadi mata kuliah di MIT.

Pertama kali dikenalkan oleh Richard Feynmann pada tahun 1965, teknologi nano merupakan kemampuan untuk melakukan manipulasi, kontrol, produksi, dan manufaktur benda dalam presisi atom. Pengukuran dan permodelan dilakukan dalam skala 100 nanometer atau lebih kecil. Bidang-bidang industri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi nano dalam manufaktur antara lain; Komputer (menuju ke kecepatan yang lebih tinggi), farmasi, kedokteran (untuk pengaturan asupan obat, rehabilitasi syaraf dan jaringan), surface coating pada material, katalis (industri kimia dan industri lainnya), sensor, telekomunikasi, material magnit dan peralatan sejenisnya dan lain-lain. Beberapa negara lainnya yang telah berinvestasi pada pengembangan teknologi ini diantaranya Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.

Di Indonesia, teknologi nano dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan berkembang dalam bentuk riset. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Namun, kekayaan yang didapatkan melalui penambangan, pencairan, dan rangkaian pengolahan yang sangat memakan biaya ini akan segera tergeser oleh nano material yang lebih ringan, murah, serta hanya memerlukan energi yang sangat kecil dalam pembuatannya. Sayangnya, pembahasan tentang teknologi nano belum menjadi kurikulum di pendidikan tinggi. Kendala lain yang juga dihadapi oleh universitas dalam negeri menurut Yasraf Amir Piliang MA, adalah lambatnya pertumbuhan, inovasi, maupun karya-karya kreatif. Maka, seminar ini menjadi sangat penting agar kurikulum yang diajarkan pada pendidikan tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi terbaru.

Ditemui di sela-sela acara, mantan Direktur PT. Garuda Indonesia (Persero) sekaligus ketua panitia seminar, Ir. Indra Setiawan, M.Ba, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini diarahkan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, namun juga mampu menciptakan teknologi berwawasan lingkungan yang responsif, adaptif, dan aplikatif. Yang perlu ditekankan adalah penajaman arah pendidikan agar tercipta professional engineer dalam berbagai bidang ilmu.

Dalam seminar ini diluncurkan pula buku Transpor dan Konversi Energi Nanoskala karya Gang Chen yang dialihbahasakan oleh Ir. Filino Harahap, M.Sc., Ph.D., mantan Profesor di bidang Teknik Mesin yang kini menjadi aktifis pengembang teknologi nano di Indonesia.