Artikel
6. DBE - Desentralisasi Pendidikan Dasar
Program Desentralisasi Pendidikan Dasar ialah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat. Program ini merupakan payung kerjasama antara Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dan USAID.
Tujuan dari program ini ialah peningkatan kualitas pendidikan dasar di Indonesia melalui tiga komponen kegiatan yang saling berintegrasi, yaitu: 1) desentralisasi manajemen dan tata pelayanan pendidikan yang lebih efektif (DBE1), 2) peningkatan kualitas belajar mengajar (DBE2), serta 3) peningkatan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah melalui kecakapan hidup dan keterampilan vokasional (DBE3).
Area yang dicakup Program Desentralisasi Pendidikan Dasar USAID/Indonesia (Program DBE) ialah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Program ini berlangsung mulai tahun 2005 sampai 2010 dan diharapkan akan membantu meningkatkan pendidikan untuk lebih dari 2.400 sekolah dan lebih dari 250 ribu siswa di 100 kabupaten/kota. Program DBE tersusun atas 3 komponen, yaitu DBE1, DBE2, dan DBE3.
7. Indonesia dan A.S Rayakan Keberhasilan Program Pendidikan Dasar di Indonesia
Para pendidik dan pemuka masyarakat daerah dari seluruh Indonesia akan berkumpul di Jakarta pada hari Senin untuk merayakan keberhasilan program pendidikan dasar yang pertama yang didanai oleh Amerika Serikat dalam dua dasawarsa. Kuasa Usaha A.S., John Heffern, memberikan pengarahan kepada wakil masyarakat dari 23 daerah yang akan mulai melakukan pengkajian akhir program tersebut selama tiga hari untuk menjadi landasan persiapan bagi Prakarsa Pendidikan senilai 157 juta dolar AS yang dicanangkan oleh Presiden George Bush di Indonesia.
Menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu faktor kunci dalam menjamin terciptanya sebuah bangsa yang demokratis dan makmur, Heffern mengatakan: “Program empat-tahun senilai 10 juta dolar AS ini, yang dibawa oleh Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID) ke sekolah-sekolah di daerah pada 2003, telah mencapai tujuannya yakni membangun sistem pendidikan lokal yang berkualitas di seluruh Indonesia.”
Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE) USAID, yang tahun kelima dan terakhirnya akan berakhir Juni mendatang, saat ini dilaksanakan di 20 daerah di Jawa dan dua daerah di Aceh.
MBE, yang telah memberikan dukungan pendidikan kepada 449 sekolah dalam lima tahun sejarahnya, merupakan perintis bagi proyek Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (DBE) USAID yang sedang dan akan terus berlangsung sampai tahun 2010. Program DBE, yang merupakan bagian dari komitmen USAID dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dianggap berhasil meningkatkan nilai prestasi siswa secara signifikan dalam pelajaran membaca, ilmu pengetahuan alam, dan matematika.
Hampir 200 peserta menghadiri rapat pengkajian program tersebut, termasuk staf departemen pendidikan daerah, departemen agama, badan perencana, badan pendidikan, anggota dewan dan pendidik.
Program ini dianggap berhasil membantu menciptakan rencana pengembangan sekolah, membantu menjadikan anggaran sekolah transparan bagi masyarakat setempat, dan mendorong pembentukan perkumpulan orang tua. Di bawah program MBE, kelas menjadi tempat yang lebih menarik dan membangkitkan gairah bagi anak-anak, dengan dipamerkannya secara jelas contoh proyek akademik dan artistik para siswa. Tingkat kehadiran siswa meningkat di sekolah-sekolah yang melaksanakan program ini.
8. 17 Agustus, Pencanangan Pendidikan Gratis
Tepat pada Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-63, 17 Agustus 2008, Pemkot Semarang akan mencanangkan Pendidikan Dasar Gratis. Sebagaimana dikutip dari berita Suara Merdeka, sejak tanggal tersebut di wilayah Kota Semarang diharapkan tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bisa menempuh pendidikan.
Hal itu disampaikan Wali Kota Sukawi Sutarip pada rapat koordinasi (rakor) dengan para kepala sekolah negeri di SMA 1, Rabu (6/8). Rapat koordinasi yang diikuti kepala SD/SMP/SMA/SMK se-Kota Semarang itu membahas sejumlah persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, mulai dari PPD, sekolah gratis, bantuan penyelenggaraan pendidikan (BPP), hingga penarikan sumbangan pengembangan institusi (SPI). ’’Pemkot sudah bertekad, seluruh anak usia SD/SMP di Kota Semarang harus bisa sekolah. Hal itu berkait dengan pemberlakuan kebijakan pendidikan dasar gratis, mulai tahun ajaran 2008/2009,’’ kata dia.
Sebelumnya, pernyataan senada juga disampaikan Wali Kota, ketika membuka dialog dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kampung Bedagan, Kelurahan Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah. Di hadapan para anggota Paguyuban KIM/FIM serta Paguyuban Pemerintah, Tokoh Agama, dan Tokoh Masyarakat (Petamas), Sukawi menandaskan keinginan Pemkot untuk ’’menyekolahkan’’ semua anak usia sekolah di Semarang. ’’Semua anak usia SD/SMP harus bisa diterima di sekolah. Tidak peduli dia pandai atau bodoh, kaya atau miskin,’’ kata dia.
Bila ada anak miskin yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena terbentur biaya, menurut Wali Kota, Pemkot akan memikirkannya. ’’Jangan khawatir, dana pemerintah cukup untuk itu,’’ ujarnya.
Pendataan
Secara khusus Wali Kota meminta pengurus RT/RW di 177 kelurahan se-Kota Semarang melakukan pendataan terhadap anak usia sekolah di wilayah masing-masing. Data itu diperlukan untuk memastikan, tidak ada anak usia sekolah yang tidak bisa menempuh pendidikan.
Pendataan itu mencakup mereka yang sudah bisa bersekolah dan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena berbagai hal. Dia memberikan batas waktu kepada pengurus RT untuk melakukan pendataan, sebelum 17 Agustus mendatang. Para lurah dan camat diminta untuk terjun langsung memantau pendataan tersebut.
Sebab, tepat pada peringatan HUT Ke-63 RI itu, akan dilakukan pencanangan atas kebijakan tidak ada anak usia sekolah yang tidak bisa sekolah. ’’Kalau sampai ada yang tidak sekolah, yang salah ya lurah dan camatnya,’’ imbuhnya.
Sebuah upaya konstruktif yang layak ditiru oleh Pemkot-Pemkot lainnya diseluruh Indonesia. Bravo Pemkot Semarang!
9. Tangerang Terapkan Pendidikan Dasar dengan Metode Tematik
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah Kabupaten Tangerang mencanangkan tahun 2005 sebagai tahun Sekolah Dasar (SD). Pencanangan program berbasis pendidikan sekolah dasar ini telah diawali dengan menyelenggarakan penggunaan bahan ajar tematik yang merupakan implementasi dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK). "Untuk sementara bahan ajar tematik ini akan diberlakukan di 181 SD inti yang ada di Kabupaten Tangerang," ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Mas Iman Kusnandar Kepada Tempo usai peletakan batu pertama SMK Negeri Mauk.
Menurut Iman, bahan pelajaran Tematik merupakan program belajar mengajar. Sistem ini menerapkan antara teori dan
praktek langsung dilakukan oleh siswa. "Guru mengajar secara bertema dan langsung diimlementasikan oleh siswa,
Tangerang boleh berbangga, karena ini yang pertama kali di Indonesia," kata Iman.
Sejauh ini, kata Iman, pendidikan dasar di Indonesia tidak mendidik secara dasar. "Kebanyakan orang berpikir, di SD
itu hanya cukup bisa membaca, berhitung dan menulis, padahal justru di SD inilah pondasi, dasar pendidikan harus dikembangkan dan ditanamkan ke setiap siswa".
Menurut Iman, program ini, akan menghemat biaya pendidikan sekecil mungkin." Setiap siswa akan memegang modul yang sama dengan guru pengajar dan berlaku hingga enam tahun kedepan". Ide ini muncul dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) SD Balaraja, tersusun buku bahan ajar tematik khusus bagi anak kelas 1.
Setelah bekerja selama satu tahun, tim yang terdiri dari para tenaga didik yang berada dalam pengarahan asisten
Dirjen Pendidikan Dasar, Menengah dan Kejuruan Dr Hari Suderadjat, akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan buku
bahan ajar tersebut. Tindak lanjut yang dilakukan setelah acara peluncuran buku yang dibuka Bupati Kabupaten
Tangerang Ismet Iskandar pada Jumat (26/11) lalu di SDN Batan Indah Cisauk adalah mensosialisasikan buku tersebut
pada SD yang ada di Kabupaten Tangerang.
Secara terpisah, Kepala Sub Bagian Kurikulum TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Arsyad Husein, mengatakan penerapan sosialisasi buku bahan ajar ini akan dimulai pada tahun depan. Hal ini berhubungan dengan semester gasal yang akan segera berakhir pada akhir tahun ini. Sehingga penggunaan buku yang telah disesuaikan dengan
kurikulum 2004 tersebut baru akan digunakan setelah memasuki semester baru (genap) tahun depan.
Arsyad mengemukakan bahwa bahan ajar yang baru ada satu-satunya di Indonesia ini tidak diperjualbelikan. Semua pelajar diberi kesempatan menggunakan buku bahan ajar dengan cuma-cuma. "Akan tetapi, untuk kali ini buku tersebut baru dapat digunakan untuk 181 Sekolah Inti yang ada di kabupaten Tangerang," jelas Arsyad.
Peluncuran buku bahan ajar tematik ini tidak berhenti sampai di sini saja. Akan tetapi akan terus dikaji ulang. Selain sebagai upaya menyempurnakan buku tersebut, bahan ajar tersebut juga merupakan langkah awal bagi pengembangan kelas selanjutnya. "Apabila penyempurnaan terus dilaukan secara berkesinambungan maka tidak menutup kemungkinan buku ini akan menjadi salah satu aset nasional dalam rangka kurikulum basis kompetensi(KBK), tandas
Arsyad.
10. Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?
Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).
Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.
Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.
Dilema kebijakan
Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.
Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.
Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).
Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.
Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.
Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.
Relasi komplementer
Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.
Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.
Jumat, 17 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar