Artikel 1 :
Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus
KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.
Artikel 2 :
Siswa Cerdas Istimewa ke Luar Negeri
JAKARTA -- Siswa cerdas istimewa/bakat istimewa (CI/BI) selama ini lebih banyak yang melanjutkan studi ke luar negeri. Tak jarang mereka tidak ingin pulang karena memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih baik. ''Karena itu perlu dimunculkan perasaan 'berhutang' sehingga ketika sudah berhasil, mereka akan mengabdikan ilmu dan kompetensinya kepada negara,'' ujar Sekjen Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa (Asosiasi CB/BI), Amril Muhammad, dalam seminar 'Peningkatan Pelayanan Pembelajaran MIPA Terhadap Siswa CI/BI', Kamis (29/1).
Menurut Amril, alokasi pembiayaan kegiatan pembelajaran bagi siswa CI/BI selama ini lebih besar ditanggung oleh orang tua siswa. Akibatnya, keinginan mereka untuk 'berbakti' kepada negara di masa depan relatif rendah. Karena itu, kata Amril, perlu mengupayakan akses dana lain untuk menopang kebijakan pemerintah mengenai sekolah gratis tingkat SD dan SMP.
Amril mengatakan, sekitar satu juta anak usia sekolah yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa dengan IQ di atas 125 belum terlayani pendidikan yang sesuai kebutuhan mereka. ''Padahal, anak-anak unggul ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang mampu mengembangkan potensi dan keistimewaan mereka,'' ujar Amril.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta anak CI/BI istimewa di Indonesia. Namun yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang atau baru sekitar 0,43 persen.
Namun, layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu memunculkan keunggulan mereka. ''Kompetensi anak-anak ini tidak menonjol, baru sekadar mengembangkan kepintaran. Karena itu, harus ada perbaikan dalam layanan pendidikan pada anak-anak ini,'' kata Amril.
Artikel 3 :
Ratusan Anak TKI di Sarawak tidak Bersekolah
SERAWAK -– Ratusan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah berusia sekolah di Sarawak, Malaysia, tidak memperoleh layanan pendidikan. Mereka umumnya tinggal bersama orangtua yang bekerja di ladang-ladang perkebunan. “Data terakhir ada sekitar 400 anak, tapi saya yakin lebih dari itu,” tutur Rafail Walangitan, MA, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Sarawak, Malaysia, Selasa (10/3).
Banyak TKI yang bekerja di wilayah Sarawak tidak melaporkan diri ke konsulat. Status mereka menjadi ilegal. TKI yang ilegal, menurut dia, karena banyak yang kabur dari majikan, sementara paspor mereka ditahan saat masuk bekerja. Rafail memperkirakan, ada sekitar 40 ribu TKI ilegal di wilayah ini, sementara TKI legal tercatat sebanyak 190 ribu orang.
Sebagian di antara para TKI itu memiliki anak usia sekolah. Anak-anak mereka selama ini tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Masalahnya, pemerintah Malaysia pada dasarnya tidak membenarkan pekerja membawa keluarga sehingga anak-anak yang lahir di sana menjadi ilegal dan sulit bersekolah di lembaga pendidikan formal di negeri itu. Selain itu, umumnya mereka bermukim jauh di perkebunan-perkebunan. “Kami tidak tahu kondisi yang ada di kebun. Itu sebabnya kami tidak dapat data pasti,” tutur Rafail.
Kondisi yang kurang lebih sama dialami oleh banyak anak-anak TKI di Sabah. Untuk mensiasatinya, sebagian TKI membangun lembaga pendidikan dalam komunitas sendiri. Mereka menggunakan ruang seadanya, seperti tempat ibadah dengan sistem pengajaran, tak lebih dari mengajarkan baca tulis dan hitung. Hanya saja, jumlahnya tidak banyak. Anak-anak itu pun sulit mendapatkan sertifikat untuk kelak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Saat ini, pemerintah Indonesia telah membangun Sekolah Indonesia Kota Kinibalu (SIKK) di Sabah. Diresmikan Desember 2008 lalu, sekolah ini berlokasi di sebuah ruko Kota Kinabalu untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak TKI yang ada di sekitar kota ini. Selain itu, SIKK diharapkan menjadi induk bagi anak-anak TKI di kawasan perkebunan yang ada di pedalaman-pedalaman yang memperoleh layanan pendidikan, baik pendidikan nonformal, maupun pendidikan layanan khusus yang tidak diterima di sekolah formal.
Rafail menuturkan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sarawak. Saat ini, katanya, telah dibentuk pusat bimbingan sebagai tempat pembelajaran kepada anak-anak TKI yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Sarengas, Serawak. Mulai beroperasi Januari 2009, pusat bimbingan ini diselenggarakan oleh serikat pekerja perusahaan bekerjasama //Humana Child Aid Society//, organisasi non-pemerintah di wilayah itu, untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak pekerja.
Namun, menurut Rafail, pusat bimbingan ini masih menerapkan kurikulum pendidikan Malaysia. “Saya minta diajarkan ke-Indonesiaan,” tuturnya. Gayung bersambut, Hendry Gasha, Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan perkebunan itu, menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menerapkannya. Hendry mengatakan tidak keberatan kalau kurikulum Indonesia diterapkan di pusat bimbingan ini.
Selain itu, Rafail menyatakan pernah mengusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mendatangkan guru dari Indonesia untuk memberikan bekal pengetahuan pembelajaran kepada TKI yang dianggap memiliki pendidikan cukup untuk mengajarkan anak-anak mereka sendiri. Menurut dia, para TKI ada yang memiliki pendidikan cukup, bahkan ada yang sarjana. Jadi, polanya berbeda dengan di Kinibalu yang mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di SIKK.
Sebenarnya, menurut dia, pembelajaran antar sesama TKI sudah diterapkan di beberapa tempat selama ini. Pola itu tumbuh sendiri karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Hanya saja, pola pembelajaran di antara sesama TKI semacam itu belum dikelola secara khusus. “Saya tidak bisa membayangkan kalau mendatangkan guru, seperti halnya di SIKK,’’ tuturnya. Itu karena tempat mereka bekerja berada di pedalaman dan lokasinya terpisah.
Artikel 4 :
Anak-anak TKI Kesulitan Dapat Layanan Pendidikan
JAKARTA - Anak-anak TKI yang berada di luar negeri kini sulit mendapatkan layanan pendidikan seperti di Indonesia. Selain persoalan dana, kebijakan negara setempat menjadi hambatan untuk mendirikan sekolah seperti di Indonesia.
Untuk itu, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa akan menggunakan dana APBN Perubahan 2007 sebesar Rp 25 miliar untuk meningkatkan pelayanan pendidikan anak-anak Indonesia di luar negeri, khususnya anak-anak TKI yang sangat sulit mendapat pendidikan.
Menurut Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa pada Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso, selain pendanaan dan kebijakan pendidikan di negara setempat, jumlah murid yang terbatas di tiap negara juga menyebabkan sekolah semacam itu perlu penanganan lebih khusus.
Hingga kini pemerintah baru bisa mendirikan 14 sekolah khusus bagi anak-anak Indonesia di luar negeri.
''Jumlah sekolah Indonesia di luar negeri memang masih terbatas. Bahkan di Damaskus, sebuah ruang kelas digunakan untuk melayani murid TK, SD, hingga SMA secara bersamaan karena jumlah muridnya sedikit,'' kata Eko di Jakarta, Rabu (20/6).
Dikatakan, ke-14 sekolah Indonesia tersebar di Asia, Eropa, dan Afrika, di antaranya di Kuala Lumpur (Malaysia), Bangkok (Thailand), Davao (Filipina), Tokyo (Jepang), Yangoon (Myanmar), Jeddah dan Riyadh (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Denhaag (Belanda), Damaskus (Siria), Moskow (Rusia), Beograd (Yugoslavia) dan Wassenar (Belanda).
Relatif Sedikit
Eko menjelaskan, dari jumlah itu, sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan yang sama dengan di Indonesia relatif sedikit, bahkan mungkin hanya sekolah di Kuala Lumpur.
''Kendala utama, pemerintah bersangkutan melarang berdirinya sekolah-sekolah semacam itu. Selain itu, karena jumlah siswanya terbatas, maka satu kelas kerap diisi oleh berbagai tingkatan usia dan kelas,'' ujarnya.
Karena itu, tambah Eko, sekolah-sekolah semacam itu dianggap lebih cocok jika menggunakan sistem pendidikan layanan khusus atau pendidikan khusus.
Dia menjelaskan, untuk meningkatkan pendidikan layanan khusus bagi sekolah Indonesia di luar negeri, maka pada tahun 2007 Depdiknas melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa akan menyalurkan dana yang berasal dari APBN Perubahan 2007.
''Layanan pendidikan ini termasuk bagi anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Jeddah yang akan memperoleh pendidikan layanan khusus (PLK) atau sekolah khusus mulai 2007,''
Artikel 5 :
NTT Selenggarakan Pendidikan Layanan Khusus
KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sabtu, 14 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar