Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Artikel :
6. Pemerintah Diminta Lebih Serius Layani Pendidikan Khusus


TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat Pendidikan Utomo Dananjaya meminta pemerintah lebih serius melayani anak Indonesia yang membutuhkan pendidikan layanan khusus. Selama ini, kata Utomo, pendidikan layanan khusus dilakukan oleh masyarakat lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah lah yang harus menanggung beban anak Indonesia berkebutuhan khusus ini.
"Pemerintah harus menyiapkan anggaran yang cukup untuk pendidikan layanan khusus, pemberian tanggung jawab kepada lembaga/masyarakat tidak cukup, tidak ada jaminan pendidikan akan terus berlanjut," kata Direktur Institute of Education Reform in, Senin (13/4).
Utomo menganggap pemerintah saat ini lebih bangga memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas, sedangkan untuk anak miskin cenderung diabaikan. "Pemerintah bersikap diskriminatif pada anak miskin dan tertinggal," katanya.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso menyatakan sekitar tiga juta anak Indonesia kesulitan mengakses layanan pendidikan formal (sekolah reguler). Anak-anak itu terdiri dari 2,6 juta orang pekerja anak, 15 ribu orang anak yang lahir di daerah transmigrasi, dan ada 2000 an anak lain yang tersebar di 18 lembaga pemasyarakatan anak.
Selain itu, ada pula anak-anak korban perdagangan orang, anak-anak yang besar di daerah konflik, anak-anak yang hidup di lokasi pelacuran, anak dengan HIV/AIDS, dan anak putus sekolah karena kemiskinan/budaya.

7. Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

BANDUNG, KOMPAS - Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.
Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.
”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.
Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.
Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.
Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.
Anggaran ditingkatkan
Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.
Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.

8. Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani

Kamis, 26 Februari 2009

BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.
Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, Kamis (26/2). SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.
Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.
Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.
Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.

Guru terbatas

Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.
Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.

9. Sayang, Banyak Anak Cerdas Indonesia Diabaikan!

ANAK-anak cerdas istimewa ber-IQ di atas 125, yang jumlahnya di Indonesia sekitar satu juta anak, hingga saat ini terkesan masih diabaikan. Seharusnya, pengembangan keunggulan anak-anak cerdas dan berbakat istimewa ini mendapat perhatian serius pemerintah.
”Negara mestinya ’bernafsu’ melihat anak-anak berbakat ini. Maksudnya, ada keinginan kuat dan serius untuk bisa membantu pengembangan mereka demi kepentingan bangsa juga pada masa depan,” kata Yohanes Surya, Ketua Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, pekan lalu.
Menurut Yohanes, Indonesia memiliki anak-anak cerdas dengan IQ 125 ke atas dalam jumlah yang signifikan. Potensi ini seharusnya tidak disia-siakan. ”Jika perlu, anak-anak berbakat ini dijadikan sebagai anak negara. Persiapkan mereka dengan baik sehingga pergi ke mana pun ke perguruan tinggi ternama di luar negeri, misalnya, keunggulan mereka muncul. Nama Indonesia juga kan yang harum,” ujar Rektor Universitas Multimedia Nusantara ini.
Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, di Jakarta, secara terpisah, mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.
”Meskipun tanpa lembaga khusus, sebenarnya anak istimewa ini bisa ditemukan dan dikembangkan potensinya. Ujung tombaknya ada di guru, apakah mereka mampu melihat potensi setiap anak. Lalu, memberikan treatment yang tepat untuk bisa memunculkan keistimewaan anak tersebut,” ujar Seto.
Menurut Seto, dukungan untuk anak berbakat ini jangan sebatas kepada mereka yang cerdas secara akademik dalam bidang sains semata. Anak-anak yang punya bakat menonjol dalam bidang seni dan olahraga juga harus diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan terbaik.
Seto mengatakan, anak-anak cerdas itu bukan hanya sekadar IQ yang tinggi, tetapi juga punya tingkat kreativitas yang baik, serta memiliki komitmen tugas seperti disiplin dan tidak mudah menyerah.
Secara terpisah, Direktur Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko mengatakan, pelayanan pendidikan bagi anak cerdas dan berbakat istimewa harus mempunyai semacam pusat evaluasi dan pendampingan dari pakar. ”Itu agar tidak terjadi salah diagnosa terhadap anak yang diperkirakan mempunyai potensi cerdas dan berbakat istimewa,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, Sabtu (31/1) di Jakarta

10. Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

Pendidikan Khusus

Artikel :
6. Tiga Juta Anak Butuh Pendidikan Khusus
Sumber : SINDO


JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.
”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.
Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik.

7. Pendidikan Seks Harusnya Dimulai dari Keluarga

JAKARTA, SELASA - Masalah seksual masih tabu untuk dibicarakan, baik dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga, sehingga banyak informasi keliru tentang pengetahuan seksual. Hal ini perlu segera dibenahi melalui pendidikan seksual sesuai usia dan pendidikan.
"Informasi mengenai seks banyak didapatkan dari media cetak dan elektronik yang sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja, " kata ahli penyakit kulit dan kelamin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Sjaiful Fahmi Daili, Selasa ( 25/11), di Jakarta.
Agar tidak memperoleh informasi keliru mengenai pengetahuan seksual, lanjut Sjaiful, materi pendidikan seksual seharusnya diperkenalkan dalam keluarga dan di luar lingkungan keluarga terutama di sekolah. Karena sebagian masyarakat masi h tabu berbicara mengenai seksual, banyak anak perempuan kebingungan ketika pertama kali mendapat menstruasi, ujarnya.
Pemberian pendidikan seksual bukan berarti membuka peluang untuk perilaku seks bebas, melainkan lebih menekankan mengenai perbedaan lelaki dan perempuan secara seksual, kapan terjadi pembuahan, apa dampaknya jika berperilaku seks tanpa dilandasi tanggung jawab termasuk risiko terkena infeksi menular seksual, kata Sjaiful.
Berbagai jenis infeksi menular seksual pada perempuan dan laki-laki dapat menyebabkan infeksi saluran reproduksi atau ISR dan komplikasi yang berlanjut. Hal ini terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat. Apalagi, beberapa jenis infeksi menular seksual pada wanita tidak menimbulkan gejala khas, ujarnya.
Sjaiful menjelaskan, ditinjau dari segi usia ternyata pasien IMS yang paling menderita adalah kelompok usia muda, karena perilaku dan kondisi biologisnya yang belum matang. Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok ini, khususnya para remaja yang selama ini terabaikan. Salah satunya, dengan mengenalkan pendidikan seksual disesuaikan umur dan pendidikan, kata dia.

8. Nelayan Tidak Berpendidikan Khusus Kok Ditangkap...

Laporan wartawan Adi Sucipto

LAMONGAN, MINGGU - Terkait penangkapan KM Sumber Murni asal Lamongan oleh gabungan polisi dan Polisi Air Gresik, Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Lamongan Minggu (22/2) Sudarlin menyatakan kapal tidak harus dikandangkan dan nahkoda tidak harus ditahan. Menurut dia seharusnya ada pola pembinaan dulu dan tidak langsung ditangkap mengingat nelayan Indonesia rata-rata tidak punya pendidikan khusus nelayan.
"Nelayan Indonesia bukan nelayan modern seperti nelayan Korea dan Jepang yang memiliki sertifikat fisherman (sertifikat nelayan). Mereka memiliki look book sebagai catatan perkembangan hasil tangkapan. Beda dengan nelayan Indonesia pulpen saja tidak bawa. Nelayan Indonesia tidak punya pendikan khusus melaut," kata Sudarlin.
"Profesi nelayan di Indonesia justru alternatif pekerjaan terakhir karena tidak perlu sekolah. Nelayan pada dasarnya tidak tahu dokumen apa yang harus dilengkapi. Sebagian besar hanya bagi hasil. Kapal dari pemilik, alat tangkap dan bahan bakar serta ABK serta nahkoda hanya menjalankan kapal saja," lanjutnya.
"Oleh karena itu menyikapi penangkapan kapal nelayan Lamongan petugas tidak perlu kaku. Undang-undang Perikanan kan baru saja berjalan sedangkan Undang-undang Dasar saja yang ada sejak merdeka saja belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Kami berharap aparat hukum tidak terlalu kaku agar tidak semakin merugikan nelayan Indonesia," ujar Sudarlin.
Menurut dia persoalan dokumen nelayan dalam negeri semestinya bisa ditoleransi agak longgar dengan diberi pembinaan dan peringatan awal tidak langsung ditangkap dan kapal dikandangkan. Harus ada pembinaan khusus sebab nelayan pada umumnya kurang memerhati kan kelengkapan dokumen bukan karena tidak ada tetapi bisa saja mati tidak diperpanjang.
"Terkecuali nelayan melakukan tindakan kriminal ditangkap tidak apa-apa. Contohnya mereka menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti jaring pukat harimau, bahan peledak, atau merusak terumbu karang," katanya.
Kelengkapan dokumen kata Sudarlin biasanya mati tetapi belum diperpanjang karena kesibukan nelayan di Laut. Dia mencontohkan selama ini bila ada kapal ditangkap di Sumenep ada koordinasi antara dinas perikanan Polair dan HNSI.
"Pernah ada kapal yang diamankan karena blank tanpa dokumen ada yang dokumennya mati. Tetapi ada pola pembinaan sehingga nelayan bisa menyikapi untuk melengkapi dokumen. Pertama diberi peringatan dulu, dengan catatan bila tertangkap lagi tanpa dokumen maka kapal dikandangkan dan pemilik atau ABK bisa ditahan," tuturnya.
Dia menambahkan kapal nelayan idealnya dilengkapi pas kapal yang dikeluarkan Dinas Perhubungan dan surat izin yang dikeluarkan Dinas Perikanan. Pas kapal wajib untuk semua kapal menyebutkan tanda catatan kapal, ukuran, nama kapal dan pemiliknya.
Sedangkan dokumen yang dikeluarkan Dinas Perikanan terdiri dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Untuk kapal ukuran di bawah lima GT hanya melapor saja sedangkan di atas lima GT harus dilengkapi SIPI, kata Sudarlin.

9. Baru 64.000 anak cacat mendapatkan pendidikan ksusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.
"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.
Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.
"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.
Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.
Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.
Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.
Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.
"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.
Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

10. Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Baru Sentuh 21 Persen ABK
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.
Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.

Pendidikan Keagamaan

Artikel :
6. Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan


Rabu, 01 April 2009
PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.
Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut.

Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.

Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.

Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan.

Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.
“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.

7. 3.700 Guru TPA/MDA di Padang peroleh bantuan Rp 4.4 M

PADANG -- Sebanyak 3.700 guru mengaji di Taman Pendidikan Al Quran (TPA) dan Madrasah Diniyah Awaliah (MDA) di Padang, Sumbar, memperoleh bantuan pemerintah kota (Pemkot) Padang Rp4,4 miliar atau Rp100 ribu/bulan per guru.

"Tiga ribuan lebih relawan guru mengaji itu dibantu guna menghargai pengabdiannya dan perjuangannya mendorong program pengembangan keagamaan di Padang," kata Kabag Binsos Sekdako Padang, Sumbar, Zabendri di Padang, Kamis.

Padang memiliki 3.700 relawan guru mengaji masing-masing sebanyak 2.800 guru TPA, dan 900 guru MDA, yang berjuang dan bergiat di jalan Allah SWT, meningkat akhlak generasi muda dan mendukung suksesnya program tulis baca Al Quran.

Ia mengatakan, bantuan sebesar Rp4,4 miliar APBD 2008 --masing-masing Rp100 ribu /bulan per guru itu, baru dicairkan semester pertama 2008 sebesar Rp2,2 miliar.

"Sebagian dana yang dicairkan itu sudah diterima para relawan, dan sisanya akan disalurkan kembali hingga
akhir Desember 2008," katanya.

Mereka wajib dibantu Pemkot Padang, kendati masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan masjid dan mushalla tersebut juga memberikan insentif serupa.

Karenanya bantuan tersebut, katanya, tetap dianggarkan tiap tahun guna mendorong percepatan program Pemkot Padang dalam meningkatkan kualitas iman, akhlak dan agama warga kota khususnya pelajar.

Pemkot Padang, kini, katanya lagi lebih gencar melaksanakan program peningkatan akhlak pelajar, terkait maraknya persoalan pindah agama dan keyakinan, kriminalitas di kalangan pelajar dan perbuatan menyimpang antara lain penyalahgunaan narkoba.

"Kasus tersebut, cukup mengkhwatirkan dan generasi muda berkualitas di Padang terancam 'kehilangan
generasi', sehingga Pemkot terkait bertekad menggencarkan program peningkatan akhlak tersebut melalui kegiatan pesantren Ramadhan.

Tahun 2008, katanya, Pemkot Padang telah menganggarkan Rp2,5 miliar untuk mendorong suksesnya pesantren Ramadhan tersebut disamping itu Rp300 juta lainnya bagi peningkatan pembangunan fisik mushala.

8. Depdiknas Optimis 2009 tidak ada Lagi Sekolah Rusak

JAKARTA -- Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) optimistis proses rehabilitasi dan renovasi sebanyak 135.194 ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat sekolah dasar, Madrasah Ibtidaiah (MI) dan SD Luar Biasa (SDLB) di sejumlah provinsi di tanah air dapat dituntaskan pada tahun 2009 dengan perkiraan biaya sebesar Rp9,07 triliun. "Seiring dengan terpenuhinya alokasi anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan, Presiden meminta agar memberikan prioritas salah satunya penuntasan wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Untuk menuntaskan wajar sembilan tahun tersebut, maka upaya dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan," kata Direktur Pembinaan Tk dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito Ak di Jakarta, Senin.
Data tahun 2003 meunjukkan terdapat 531.186 ruang kelas SD/MI atau sebesar 49,50 persen dari 1.073.103 ruang kelas SD/MI yang mengalami kerusakan sedang dan berat. "Perbaikan ruang kelas rusak baik kategori sedang dan berat untuk tingkat SD/MI telah dilakukan sejak tahun 2003 dan jumlahnya cukup besar yakni 531.186 ruang kelas (49,5 persen) di seluruh Indonesia," katanya.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak adalah melalui program dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan non DAK antara lain melalui dana bencana alam, APBN-P, dekonsentrasi, APBD I dan II. DAK bidang pendidikan dimaksud untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan diarahkan untuk membiayai rehabilitasi ruang kelas SD/MI dan SDLB serta sekolah-sekolah setara SD yang berbasis keagamaan, meliputi juga sarana meubilernya, katanya.
Selanjutnya, selama lima tahun proses rehabilitasi dan renovasi dilaksanakan setiap tahun hingga tahun 2008 dengan rincian renovasi melalui dana alokasi khusus (DAK) sebanyak 295.548 ruang kelas (27,51 persen) dan dana non DAK sebanyak 100.444 ruang kelas (9,3 persen) sehingga sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas (12,6 persen). Lebih lanjut Mudjito mengatakan, sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas tersebar di semua propinsi di tanah air, yakni dengan tingkat kerusakan ringan antara 0-10 persen sebanyak 1.331 ruang kelas terdapat di 19 propinsi, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Maluku, NTB, Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan sebagainya.
Ruang kelas rusak sedang antara 10,2 hingga 20 persen sebanyak 2.282 ruang kelas terdapat di tiga propinsi yakni, Daereh Istimewa Yogyakarta (DIY), Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Rusak antara 20,1 persen hingga 30 persen sebanyak 4.451 ruang kelas terdapat di tiga propinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sedangkan kerusakan lebih dari 30 persen sebanyak 127.130 ruang kelas terdapat di 10 provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur dan Banten.
Lebih lanjut Mudjito mengatakan, dana yang dibutuhkan untuk renovasi satu ruang kelas rata-rata sebesar Rp50 juta namun seiring dengan kemungkinan terjadinya eskalasi harga, maka perhitungan anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak sebanyak 135.194 unit pada tahun 2009 mengalami peningkatan dari Rp9,1 triliun menjadi Rp12,4 triliun.
"Depdiknas optimis dengan tuntasnya rehabilitasi ruang kelas rusak pada tahun 2009, maka pada tahun berikutnya diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti standar pembiayaan, standar kelulusan siswa dan sebagainya," tambahnya.

9. Depag Gelar LPQ dan LKIR Untuk Siswa Madrasah

JAKARTA--Direktorat Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama menggelar Lomba Pemahaman al-Qur`an (LPQ) dan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) 2008 bagi siswa madrasah aliyah tingkat nasional yang akan dibuka secara resmi oleh Dirjen Pendidikan Islam Moh Ali di Jakarta, Kamis (4/9).
Hal itu diungkapkan Direktur Pendidikan Madrasah Firdaus MPd menjelaskan rencana LPQ dan LKIR tingkat nasional bagi siswa madrasah yang akan berlangsung di Jakarta, 4-6 September 2008, bertema "Dengan Kompetisi Siswa Madrasah Kita Tingkatkan Prestasi Siswa Madrasah"
Menurut Firdaus, kegiatan tahunan ini merupakan ajang kompetisi siswa madrasah untuk berprestasi sesuai dengan bakatnya dalam rangka peningkatan mutu siswa madrasah. "Tujuannya untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas siswa, membentuk watak yang jujur, tekun, cermat, dan berpandangan terbuka," ujarnya.
Kriteria Lomba Pemahaman Al Quran, kata Firdaus, mencakup materi lomba sesuai dengan KTSP, memahami makna al-Qur`an, baik secara harfiyah maupun ma`nawiyah dan menjawab/mengisi tes tulis (tahriry) dan lisan (syafahy).
Ada 3 (tiga) kategori LKIR yang akan diperlombakan, yaitu: Kategori agama dan akhlak mulia, Kategori kewarganegaraan, kepribadian dan estetika, dan Kategori sains dan teknologi.
Firdaus menambahkan, kriteria untuk lomba karya ilmiah remaja adalah karya ilmiah hasil penelitian sosial keagamaan, IPA (sains), dan IPS (kewarganegaraan), format penulisan memenuhi standar yang telah ditentukan dan memenuhi kaidah ilmiah (dengan metodologi penulisan karya ilmiah), menggunakan metodologi tertentu untuk menganalisis data-data hasil penelitian sehingga menghasilkan suatu kesimpulan dan saran, dan naskah ditulis minimal 20 halaman.

10. Dubes Jepang : Pesantren Bagian Penting Hubungan Jepang-Indonesia

CISAAT, SUKABUMI -- Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri mengemukakan bahwa pondok pesantren (Ponpes), yang merupakan lembaga pendidikan untuk menggembleng generasi muda menjadi bagian penting hubungan kedua negara.
"Mengapa saya datang ke pesantren, karena bagi kami, sumberdaya manusia (SDM) bangsa Indonesia juga dilahirkan dari lembaga pesantren ini, dan ke depan tentunya amat penting bagi terjalinnya hubungan baik Jepang dan Indonesia," katanya di Ponpes Sunanul Huda, Kampung Cikaroya, Desa Cibolang Kaler RT52/RW11, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat sore.
Usai memberikan kuliah umum dengan tema hubungan Indonesia-Jepang di Ponpes yang memiliki 1.200-an santri mulai TK, SD, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan pesantren "salafy" -- kegiatan belajar ilmu-ilmu keagamaan dengan mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning--Dubes Kojiro Shiojiri memberikan waktu kepada pers untuk wawancara.
Jepang secara tradisionil menjadikan pos Dubesnya antara lain di Washington, London dan Jakarta serta Seoul sebagai tempat penugasan yang dinilai penting bagi kepentingan negeri tersebut.

Berkaitan dengan kunjungannya ke Ponpes, ia lebih lanjut mengatakan bahwa sejak diberi amanah menjadi Dubes di Indonesia, dirinya mengaku berkeinginan untuk sepekan sekali bisa bertemu berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, termasuk komunitas Ponpes.
"Kalau memungkinkan, saya ingin sekali sepekan sekali bisa bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia," katanya didampingi Sekretaris III bidang politik Kedubes Jepang di Jakarta Akira Saito dan peneliti sekaligus penasehat Atsushi Sano.
Menurut dia, sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang khas Indonesia, pesantren dilihatnya telah menjadi bagian penting dan tak terpisahkan munculnya SDM berkualitas.
"Pertanyaan pelajar dan santri di Ponpes Sunanul Huda saat dialog menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di lembaga semacam ini terlihat jelas. Saya kagum dengan pertanyaan kritis yang muncul," katanya mengapresiasi sesi dialog dengan pelajar dan santri usai dirinya memberikan kuliah umum mengenai perkenalan pada budaya Jepang.
Dikemukakan pula bahwa kedatangannya ke pesantren, tidak lain tujuan utama yang hendak dicapai adalah kian bertambahnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai Jepang, dan juga sebaliknya bahwa ia ingin memperkenalkan budaya Indonesia yang majemuk kepada bangsa dan rakyat Jepang.
"Terus meluasnya jalinan kerjasama di berbagai tingkatan kedua negara, itulah hal esensial yang ingin kami tuju melalui serangkaian pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia," katanya.
Dubes Jepang untuk Indonesia sejak April 2008 menggantikan Shin Ebihara, sebelum berkunjung ke Sunanul Huda di Kabupaten Sukabumi ini sebelumnya juga mengunjungi beberapa Ponpes lainnya.
Ia menyebut diantaranya Ponpes Darunnajah di Jakarta, dan juga telah berkunjung ke lembaga pendidikan Islam modern yakni perguruan Al-Azhar yang juga berada di Jakarta. "Kalau ada Ponpes lain di Indonesia ingin berkomunikasi dengan kami, silakan untuk menjadwalkan waktunya dengan staf-staf kami, karena saya memang ingin membuka jalinan komunikasi lebih luas," katanya.
Sehubungan dengan keinginannya menjalin komunikasi dengan komunitas Ponpes, ia juga mengatakan bahwa ke depan akan mengupayakan ditambahnya beasiswa dari Jepang kepada pelajar dan mahasiswa di Indonesia untuk belajar di negeri "Matahari Terbit" itu.
Menurut dia, sejauh data yang diketahuinya hingga tahun 2008 dari 1.500-an warga Indonesia yang belajar di Jepang, jumlah yang mendapatkan beasiswa sebanyak 150-an orang. Jumlah itu dinilainya belum proporsional dengan besarya penduduk Indonesia sehingga dirinya berkomitmen untuk bisa menambah porsi beasiswa dimaksud. "Untuk tahun 2009 kita akan usahakan ada penambahan bagi kesempatan beasiswa generasi muda Indonesia untuk belajar di Jepang," katanya.

Masih komitmen
Sementara itu, pimpinan Yayasan Sunanul Huda --yang mengelola semua lembaga pendidikan di Ponpes itu--KH E Solahudin Al-Ayyubi menjawab pertanyaan wartawan seberapa besar bantuan Jepang kepada Ponpes itu, ia menjelaskan bahwa karena kedatangan Dubes Jepang untuk Indonesia baru pertama kali, yang intinya adalah perkenalan, maka rencana bantuan masih sebatas komitmen.
"Komitmen yang kejelasannya sudah ada adalah kemungkinan mendapat beasiswa bagi pelajar dan santri di sini, sedangkan bantuan lain semisal dana 'block grant', mungkin bisa dibahas pada pertemuan dengan staf Kedubes lainnya," katanya.
Ia mengaku bahwa kedatangan Dubes Jepang ke Ponpes Sunanul Huda, salah satunya karena mendengar informasi bahwa selama ini, Australia telah memberikan bantuan dalam bentuk dana "block grant". "Sehingga pihak Jepang kemudian setelah tahu mengenai hal itu menyatakan, mengapa kami (Jepang) yang punya hubungan kesejarahan dengan Indonesia tidak membantu juga," katanya.
Pihaknya berharap setelah kunjungan perdana itu, ke depan akan ada komitmen yang lebih kongkrit mengenai bantuan dimaksud, yang tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan kualitas SDM di lingkungan Ponpes, agar bisa menyelaraskan dengan kemajuan global sehingga komunitas pesantren bisa mengikutinya. Dalam kunjungan ke Ponpes itu, Dubes Kojiro Shiojiri dan rombongan disambut Bupati Sukabumi H Sukmawijaya dan pimpinan Ponpes Sunanul Huda.

Pendidikan Anak Usia Dini

Arikel :
6. PAUD Muslimat NU Berstandar Internasional


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk meningkatkan kompetensi, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lathifah milik Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan metode pembelajaran beyond centers and circle time (BCCT) dan berstandar internasional.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU Hj. Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri pembukaan pelatihan keaksaraan fungsional (KF) dan loka karya pertanian yang digelar Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung di Wisma Bandar Lampung, Kamis (7-6). Hadir Direktur Jenderal (Dirjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Djoko Said, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar dan puluhan pejabat teras, organisasi wanita dan 1.200 anggota Muslimat NU se-Lampung.
Pada kesempatan itu Khofifah juga meresmikan PAUD Lathifah di Jalan W.R. Supratman, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung.
Selanjutnya Khofifah menjelaskan fokus metode pembelajaran BCCT dengan mengajak anak-anak lebih aktif, inovatif, dinamis, partisipasif, dan agamais dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Yakni mulai dari proses belajar mengajar hingga alat permainan edukatif (APE) dikemas sedemikian rupa sehingga anak-anak makin kreatif dan inovatif. Misal saja, mulai dari tempat duduk dan meja harus ditata sedemikian rupa dengan posisi melingkar. Sehingga anak-anak diajak berdiskusi tentang berbagai hal juga mengenal huruf dan angka, serta cara menghitung dan membaca yang dikemas secara rekreatif. Sesuai pembelajaran PAUD yakni belajar sambil bermain. "Jadi, tak hanya TK dan raudhatul athfal (RA) saja yang berstandar internasional, tapi juga PAUD Muslimat NU."
Selanjutnya ia menjelaskan, saat ini, Muslimat NU memiliki 2.224 PAUD, dari jumlah tersebut terbanyak di Jawa Timur (Jatim). "Di Lamongan, Jatim, kami memiliki 560 PAUD. Bahkan PAUD Tarahan di Kalimantan Timur, Batam, dan Sidoardjo menjadi PAUD percontohan," ujar dia.
Tahun ini, ia menargetkan setiap anak cabang (kecamatan) dan ranting (kelurahan) memiliki PAUD.
Muslimat NU juga memiliki 9.800 taman kanak-kanak (TK) dan 11.900 taman pendidikan Alquran (TPA), dan 32 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.
Sementara, Ketua PW Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin
menjelaskan PW Muslimat NU memiliki PAUD, TK/RA, taman pendidikan agama (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ) di bawah naungan Yayasan Al Ma'arif yang tersebar di 10 kabupaten/kota.
Sementara itu, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said mengaku salut atas komitmen Muslimat NU dalam membantu pemerintah baik di bidang pendidikan, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.
Hal senada juga disampaikan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar. "Sebagai underbouw dari ormas NU, ternyata kiprah Muslimat NU sangat banyak. Tak hanya meningkatkan pendidikan dan dakwah, tapi juga pemberdayaan perempuan," ujar dia.

7. Mengatasi Kendala Pendidikan Anak Usia Dini
SIAPA pun tak akan menyangkal ungkapan yang menyebutkan masa depan suatu bangsa terletak di tangan generasi mudanya. Artinya, kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas calon penerus generasi sekarang.
Calon penerus tersebut mencakup generasi muda yang terdiri atas para anak muda, remaja, serta anak-anak termasuk bayi.
Jika generasi mudanya berkualitas rendah atau lemah secara fisik dan mental, bisa dipastikan suatu bangsa atau negara akan terseok-seok. Mereka akan kepontal-pontal ketika harus berlomba melawan negara atau bangsa-bangsa lain di era persaingan yang kian keras. Persaingan itu terjadi pada semua sektor kehidupan. Mulai ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, hingga olahraga.
Dalam konteks mempersiapkan generasi penerus berkualitas itulah pendidikan anak usia dini (PAUD) memegang peranan amat penting.
Di negara lain pendidikan anak usia dini telah mendapat perhatian sejak lama. Di Singapura dan Korea Selatan, misalnya, hampir semua anak berusia dini atau 0-6 tahun telah memperoleh pendidikan.
Di Indonesia pendidikan anak usia dini baru beberapa tahun terakhir ini menjadi isu nasional dan mulai mendapatkan perhatian pemerintah. Tak mengherankan jika dari sekitar 28 juta anak usia 0-6 tahun baru 73% atau sekitar 20,4 juta belum mengenyam pendidikan usia dini.
Sisanya atau sekitar 7,5 juta anak sudah memperoleh pendidikan usia dini, antara lain berupa membaca dan berhitung.
Sebagian kecil di antaranya ditangani di lembaga formal, yakni taman kanak-kanak (TK), kelompok bermain (play group), dan sederajat. Sebagian yang lain memperoleh pendidikan usia dini di lembaga-lembaga nonformal, yakni tempat penitipan anak (TPA), bina keluarga balita, dan sejenisnya.
Tahun ini Departemen Pendidikan Nasional menargetkan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan usia dini sebesar 12,5% atau menjadi 11 juta anak dan 2009 menjadi 17,3 juta anak.
Usia dini yang lazim diartikan pada kisaran 0-6 tahun memang merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi seorang anak. Sudah banyak penelitian yang membuktikan pada usia tersebut anak-anak memiliki tingkat intelegensi atau kecerdasan paling optimal.
Tujuan utama pendidikan usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal yang meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial secara menyeluruh. Dengan begitu anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut. Bukan hanya belajar secara akademik di sekolah, melainkan juga sosial, emosional, dan moral di semua lingkungan.
Pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU pada 11 Juni 2003 memberi peluang bagi perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Melalui UU tersebut keberadaan dan program-program pendidikan anak usia dini lebih memiliki kepastian hukum dan lebih jelas kedudukannya.
Semua bentuk pendidikan usia dini dipayungi, baik TK, raudhatul athfal, kelompok bermain (play group), TPA, pendidikan keluarga dan lingkungan, serta bentuk-bentuk lain yang sederajat.
UU tersebut juga mengakui kesetaraan peranan ketiga jalur pendidikan, yakni formal, nonformal, dan informal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.
Pengakuan terhadap peranan jalur formal dan nonformal mungkin tidak terlalu mengherankan, tetapi untuk jalur informal atau pendidikan dalam keluarga dan lingkungan merupakan suatu kemajuan. Untuk memperluas peluang anak-anak usia dini dalam memperoleh pendidikan, jalur informal sangat memberikan harapan.
Namun walau telah memiliki payung hukum sehingga kedudukannya lebih pasti dan jelas, dalam pelaksanaannya di lapangan pendidikan anak usia dini menemui banyak kendala.
Pertama, kesadaran masyarakat mengenai betapa strategis pendidikan anak usia dini hingga sekarang belum menggembirakan.
Kurang Menyentuh
Di antaranya akibat sosialisasi kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Baru sebagian kecil yang memiliki kesadaran cukup baik untuk memberi pendidikan anaknya sejak dini. Itu pun masih banyak terjadi salah tafsir. Pendidikan anak usia dini seolah-olah hanya bertumpu pada TK, kelompok bermain, dan sejenisnya yang bersifat formal.
Keterbatasan sarana yang terjangkau mendorong swasta berlomba-lomba "membisniskan" jenis pendidikan tersebut dengan tawaran fasilitas yang wah. Mulai penerapan bilingual atau dwibahasa, laboratorium komputer, gedung sekolah megah, guru-guru yang kompeten, hingga berbagai pendukungnya.
Orang tua harus mengeluarkan uang jutaan rupiah kalau ingin memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain yang termasuk favorit. Lebih salah-kaprah lagi, banyak yang merasa kurang bergengsi dan percaya diri jika tak memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain favorit.
Kedua, faktor geografis menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini formal dan nonformal tidak mampu menjangkau seluruh sasaran. Banyak anak-anak usia dini yang tinggal di kepulauan terpencil dan daerah-daerah pelosok yang tak tersentuh oleh layanan transportasi memadai.
Satu-satunya cara mengatasi persoalan itu adalah mengembangkan pendidikan anak usia dini yang bersifat informal, yakni berbasis keluarga dan masyarakat. Namun untuk itu memerlukan orang tua atau orang dewasa yang memiliki semangat belajar agar mampu mendidik anak-anak di keluarga dan lingkungannya.
Ketiga, jumlah tenaga terdidik yang diharapkan menjadi agen-agen pengembangan pendidikan anak usia dini masih terbatas. Selain itu, sebagian besar sumber daya manusianya berkualitas rendah sehingga belum bisa diharapkan banyak untuk mengembangkan sekaligus menyosialisasikan pendidikan tersebut.
Penyebabnya antara lain tidak banyak perguruan tinggi yang memiliki perhatian serius terhadap penyediaan tenaga pendidikan anak usia dini.
Keempat, faktor ekonomi sebagian masyarakat kita yang tergolong memprihatinkan juga menjadi salah satu kendala menggalakkan pendidikan anak usia dini.
Perhatian masyarakat terfokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pokok, terutama pangan, sehingga pendidikan anak-anak agak terabaikan.
Untuk mengatasi beberapa kendala yang menghambat layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini tersebut bisa ditempuh beberapa langkah.
Terutama memperluas jangkauan layanan melalui pendidikan nonformal dan informal yang berbasis keluarga serta lingkungan. Perlu disosialisasikan bahwa pendidikan anak usia dini bukan hanya TK atau taman bermain formal, melainkan juga TPA, bina keluarga balita, posyandu, serta keluarga sendiri.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan perlu digerakkan agar pendidikan tersebut menyentuh anak-anak dari kelompok masyarakat paling bawah serta anak-anak di daerah-daerah terpencil.
Departemen Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dengan PKK, Muslimat NU, Aisyiah, dan Kowani untuk meningkatkan jumlah anak usia dini yang memperoleh pendidikan.
Data Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan di Indonesia saat ini ada 9.668 pos pendidikan anak usia dini yang terdiri atas 635 TPA, 7.784 kelompok bermain, serta 1.249 pos lain berupa pos pelayanan terpadu (posyandu), bina keluarga balita, dan berbagai organisasi kewanitaan.
Pendidikan anak usia dini memerlukan penanganan secara multidisipliner yang melibatkan antara lain ahli gizi, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan sosiologi.
Tentu agar semua anak usia dini terjangkau membutuhkan dana besar. Departemen Pendidikan Nasional telah mengalokasikan dana Rp 109 miliar yang terbagi dua, yaitu Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar dikelola daerah.
Jumlah dana itu masih belum mencukupi atau hanya bersifat stimulans sehingga penyelenggaraan secara mandiri atau swadaya oleh masyarakat sangat diharapkan.
Perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu kependidikan diminta pula perannya dalam menyiapkan tenaga-tenaga untuk menangani anak-anak usia dini.
Sekali lagi, pendidikan anak usia dini sebagai peletak dasar dalam upaya mencetak generasi berkualitas harus ditangani secara serius, bahkan memperoleh prioritas. Seluruh masyarakat ikut memikul tanggung jawab, bukan hanya pemerintah.

8. Guru PAUD Juga Tuntut Insentif

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setelah Persatuan Guru Honor Murni (PGHM) Bandar Lampung memperoleh insentif dari Pemerintah Kota, giliran guru-guru PAUD yang tergabung Himpaudi menuntut hal yang sama.
Permintaan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) itu diutarakan Ketuanya, Hj. Sudarmi Kherlani, saat menutup pembekalan bagi pendidik PAUD kecamatan se-Kota Bandar Lampung tahap III di Museum Lampung, Selasa (16-12). Istri Wakil Wali Kota ini mengatakan insentif yang diminta Rp100 ribu/bulan/orang.
Menurut Sudarmi, kini, di Bandar Lampung ada 199 PAUD dengan 7.423 anak didik dan 804 tenaga pendidik. Dari jumlah tersebut yang menerima insentif Rp100 ribu/bulan berasal dari APBN baru sekitar 164 guru.
Ia menilai insentif tersebut belum memadai dibanding dengan pengabdian para tutor mendidik anak-anak prasekolah. "Kendati jauh dari ideal, ini merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat untuk memberikan kesejahteraan kepada para pendidik PAUD," kata dia didampingi Sekretaris Himpaudi Kota Hj. Betti Nuraini.
Sebab itu, ia mengharapkan Pemerintah Kota memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah pusat menganggarkan dana insentif kepada para tutor PAUD.
Ia mengakui PAUD masih menjadi kunci utama dan primadona pembinaan anak-anak pada usia awal untuk memasuki jenjang pendidikan formal. Sebab itu, program PAUD harus mendapatkan perhatian dan pengawalan yang baik sehingga hasil dari proses belajar-mengajarnya juga menjadi baik.
"Jika tahun ini Pemkot sudah menganggarkan insentif bagi guru honor murni, mudah-mudahan tahun depan dapat merealisasikan insentif bagi guru PAUD," ujar dia.
Saat ini, perkembangan PAUD di Kota Bandar Lampung tumbuh pesat. Kini berjumlah terdapat 199 PAUD dengan 7.423 anak didik dan 804 tenaga pendidik meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya 164 PAUD dengan peserta didik 6.996 anak dan 723 tutor.
Meningkatnya jumlah tersebut seiring banyaknya orang tua yang menyekolahkan putra-putri ke PAUD serta masyarakat yang terpanggil untuk mendedikasikan diri menjadi tenaga pengajar PAUD.
Ia bersyukur kini PAUD menjadi primadona dalam pembinaan anak-anak pada usia awal untuk memasuki jenjang pendidikan formal. Untuk itu, pihaknya terus berupaya meningkatkan mutu dan profesionalisme tenaga pendidik sehingga mereka dapat mengajar dengan baik dan berkualitas.
Peningkatan tersebut dengan cara memberikan pelatihan dan pembekalan bagi tutor PAUD. Tahun ini saja Himpaudi telah menggelar tiga kali pembekalan. Tahap pertama per Januari 2008 diikuti 250 peserta dari 154 kelompok PAUD. Lalu tahap kedua per Oktober diikuti 250 peserta dari 171 kelompok dan tahap ketiga diikuti 300 peserta dari 199 kelompok PAUD.
"Jadi per Januari 2008 tenaga pendidik PAUD hanya berjumlah 704 orang kini bertambah menjadi 804 orang. Padahal target kami hanya 750 orang," kata dia.
Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah, ia bersama pengurus bahu-membahu melatih tenaga pendidik PAUD tersebut. Sebab itu, pihaknya akan melanjutkan pembekalan hingga 2009 dengan menggelar pelatihan training of trainer (TOT).

9. Angka Partisipasi PAUD di Indonesia Rendah

JAKARTA (Ant): Angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia masih rendah, yakni di bawah 20. Padahal, negara-negara dengan penghasilan rendah sekalipun memiliki angka partisipasi rata-rata 24. Dengan angka itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah tingkat partisipasi PAUD di dunia.
"Indonesia masih di bawah 20, padahal di negara dengan penghasilan rendah lain telah mencapai 24. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, angka partisipasi PAUD di Indonesia juga masih di bawah," kata Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidilan Luar Sekolah (Ditjen PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Gutama di Jakarta, Kamis (19-10). Ia mencontohkan Vietnam, misalnya, telah mencapai 43, Filipina 27, Thailand 86, serta Malaysia 89.
Menurut dia, di Indonesia pada 2005 tercatat 28 juta anak usia 0--6 tahun. Jumlah anak usia PAUD, yakni 2--4 tahun mencapai 11,8 juta. Dari jumlah tersebut, yang ikut PAUD baru sekitar 10,10. Dari 28 juta anak usia 0--6 tahun, sebanyak 73 persen atau 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini.
Sedangkan sisanya, 27 persen atau 7,5 juta anak, sudah mengenyam pendidikan usia dini seperti membaca dan berhitung yang dilakukan lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak (TPA).
"Padahal, PAUD tidak dapat dipandang sebelah mata karena usia tersebut merupakan 'masa emas', saat perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya pendidikan memadai pada masa itu," ujarnya.
Dia mengatakan masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi PAUD di Indonesia. Pasalnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya PAUD. Selain itu, PAUD belum menjadi "pendidikan wajib" karena belum adanya anggaran khusus untuk sektor pendidikan tersebut. "Kendala lain adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi belum tersedia serta belum semua daerah punya petugas yang menangani PAUD. Untuk itulah Ditjen PLS bakal meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya PAUD dan mendorong terselenggaranya sebuah lembaga PAUD nonformal," katanya.

10. Model Pengembangan PAUD Gorontalo

Perkembangan PAUD di Provinsi Gorontalo maju pesat antara lain berkat campur tangan Hana Hasanah Fadel Muhammad, istri Gubernur Provinsi Gorontalo Ir. Fadel Muhammad.Ia bahkan menjabat sebagai Ketua Forum PAUD Provinsi Gorontalo. Tak ketinggalan istri-istri Bupati/walikota juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Kalau sudah begitu, program-program PAUD pun berjalan mulus, termasuk dalam peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikannya. Sungguh beruntung masyarakat Provinsi Gorontalo dipimpin oleh Gubernur Ir. Fadel Muhammad. Selain dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, Fadel yang juga kondang sebagai pengusaha sukses itu juga memiliki inovasi tinggi dalam meningkatkan daya saing provinsinya, misalnya melalui ekspor sapi, tanaman jagung unggulan, hasil laut, dan lain-lain.
Di bidang pendidikan, perhatian Fadel juga tinggi, yang ditunjukkan dengan cukup besarnya anggaran pendidikan. Tahun lalu anggaran pendidikannya mencapai sekitar Rp 33 miliar atau 15,6% dari APBD. Bahkan di bidang pendidikan ini ia mendapat dukungan penuh dari sang istri tercinta, Hana Hasanah Fadel Muhammad. Walhasil program-program pendidikan pun bisa berjalan mulus. Hal itu juga dirasakan oleh para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat yang menggeluti bidang pendidikan di Provinsi Gorontalo.
Khusus di bidang pendidikan anak usia dini (PAUD), misalnya, Hana Hasanah Fadel Muhammad bahkan bersedia duduk sebagai Ketua Forum PAUD Provinsi Gorontalo. Di tengah kesibukannya sehari-hari sebagai istri gubernur, Hana aktif mengurusi organisasi ini.
Hana juga aktif menghadiri pertemuan Forum PAUD tingkat nasional, misalnya pada lokakarya Forum PAUD dan HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia) yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat, Juni tahun lalu. Saat itu, Hana merupakan satu-satunya istri gubernur yang hadir. Hana rela menyempatkan mampir ke acara tersebut meski keesokan harinya pergi ke Eropa mendampingi suaminya. Hal itu merupakan bentuk kepedulian dan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD.
Jajaran tokoh masyarakat pendidikan di provinsi muda setelah melepaskan diri dari Sulawesi Utara itu mengakui Hana sangat aktif terlibat dalam kegiatan PAUD. “Kami mendapat dukungan penuh dari Pak Gubernur dan Ibu Gubernur dalam menjalankan program-program pendidikan, termasuk PAUD,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo, Drs. Weni Liputo.
“Kesediaan Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD itu merupakan barang langka, karena di daerah-daerah lain masih cukup banyak istri gubernur yang tidak mau terlibat. Bapak dan Ibu Gubernur sangat peduli terhadap program PAUD karena menyadari bahwa kalau Provinsi Gorontalo mau maju, maka kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya harus dipersiapkan dengan baik sejak dini. Dengan posisi Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD, yang kemudian dikuti oleh istri bupati/walikota sebagai Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing, maka pekerjaan Dinas Pendidikan menjadi sangat terbantu,” kata Weni Lupito.
Irina Popoi, Sekretaris Forum PAUD Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa Hana menjadi Ketua Forum PAUD sejak organisasi ini dibentuk pada Juni 2006 lalu. “Saya senang Bu Hana bersedia menjadi Ketua Forum PAUD, apalagi beliau juga Ketua PKK Provinsi Gorontalo. Sehingga pelaksanaan program PAUD menjadi lancar,” katanya.
Kesediaan Hana menjadi Ketua Forum PAUD ternyata berimplikasi sampai ke bawah. Buktinya, para istri bupati/walikota di Gorontalo juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Walhasil, wajar jika program PAUD kini menjadi primadona.

Pendidikan Informal

Artikel :
6. Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan


Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.
Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

7. Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).
Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.
Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.
Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

8. PENDIDIKAN INFORMAL: Puluhan Ibu Dididik Daur Ulang Kertas Bekas

SURABAYA (Ant/Lampost): Lembaga Manajemen Infak (LMI) akan mendidik 60 ibu dan remaja putri dari berbagai daerah di Jatim agar memiliki keterampilan mendaur ulang kertas bekas menjadi barang bernilai ekonomis.
"Pelatihan daur ulang kertas bekas ini akan dilaksanakan di Surabaya, 24 hingga 25 Januari 2009. Pesertanya berasal dari Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar dan Pasuruan," kata Direktur Eksekutif LMI, Wahyu Novyan di Surabaya, Kamis
Ia menjelaskan puluhan perempuan dengan kondisi ekonomi tidak mampu itu akan dididik mendaur ulang kertas menjadi hiasan buku, kotak pensil, celengan, hiasan bunga, kontak antaran, kotak tisu, dan lainnya.
Menurut dia, lewat pelatihan ini, diharapkan para peserta memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonominya di daerahnya masing-masing.
Mereka akan dilatih oleh anak-anak binaan LMI yang sudah lama menggeluti dan memiliki keterampilan daur ulang kertas. Saat ini, ada enam anak usia SD dan SMP di LMI yang memiliki keterampilan dan siap membagikan ilmunya kepada masyarakat.
"Ada keuntungan ganda bagi anak-anak yang menjadi instruktur dalam pelatihan daur ulang kertas ini. Selain menguasai ilmu daur ulang, mereka juga belajar berbagi ilmu dengan orang lain," kata dia.
Meskipun mereka menguasai keterampilan daur ulang, karya mereka belum sepenuhnya bisa dijual secara luas. Hal itu karena terkendala waktu, antara sekolah formal dan memproduksi barang-barang bernilai seni itu.
"Kami memang tidak mengorientasikan anak-anak untuk menjual karyanya secara luas karena yang kami utamakan adalah pendidikan mereka dulu. Tapi yang jelas, mereka telah memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk masa depan," kata dia.
Didampingi Manajer Komunikasi LMI, Nurul Rahmawati, Wahyu mengemukakan pihaknya terus berupaya melakukan pemberdayaan terhadap orang-orang tidak mampu, termasuk memberikan beasiswa untuk anak-anak putus sekolah.
"Saat ini, ada sekitar 500 anak di Surabaya yang mendapatkan beasiswa dari LMI. Selain itu, kami juga melakukan pembinaan kepada anak-anak di luar pendidikan formal, seperti menjahit, bahasa Inggris dan lainnya," ujar dia.

9. Pendidikan Informal:Berantas Buta Huruf,Intensifkan Kerja Sama Dinas

BANDARLAMPUNG (Lampost): Untuk mengentaskan penyandang buta aksara perlu kerja sama yang intensif antara pemerintah daerah (pemda), Dinas Pendidikan, dan beragam lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau universitas.
Demikian dikatakan Ketua Pimpiman Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin saat pelatihan keaksaraan fungsional (KF) yang digelar PW Muslimat NU Lampung di Wisma Bandar Lampung, Jumat (8-6). Pelatihan yang berlangsung tiga hari (7--9) itu diikuti 30 peserta baik tutor, penyelengara KF, dan sebagainya.
Misal saja, lanjut Hariyanti, Dinas Pendidikan dan Pemda Lampung dan Kota Bandar Lampung bisa meningkatkan kerja samanya dengan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Lampung (Unila) yang memiliki jurusan pendidikan luar sekolah. Yakni dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan, antara lain dengan mendirikan sejumlah kelas malam untuk orang dewasa. Karena, orang yang buta aksara biasanya adalah warga miskin yang pada siang hari disibukkan dengan mencari nafkah untuk penghidupannya.
Sedangkan untuk anak-anak buta aksara yang tidak mendapat kesempatan mengenyam bangku sekolah maka pemerintah dengan institusi pendidikan bisa membuat semacam rumah singgah yang di dalamnya terdapat beragam bacaan yang menarik anak-anak untuk belajar membaca.
Selain itu, ia juga meminta Dinas Pendidikan membuat program lanjutan sekaligus mengedrop bahan bacaan ke daerah-daerah kantung rawan buta huruf sehingga dapat meningkatkan minat baca penduduk.
Sementara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi baru-baru ini mengemukakan tahun ini, pemerintah menyiapkan anggaran Rp1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang mencapai 2,2 juta orang di seluruh Tanah Air. Sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di di sembilan provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Sedangkan sisanya dibagi rata di 22 provinsi lain.
Sedang di Provinsi Lampung terdapat 393.952 jiwa penyandang buta huruf, usianya si atas 15 tahun. Data Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyebutkan jumlah tertinggi penduduk yang buta huruf berada di Kabupaten Lampung Timur 79.633 jiwa dan terendah di Kota Metro 6.725 jiwa. Sementara lima kabupaten yang menjadi kantung rawan buta aksara adalah Lampung Timur, Lampung Selatan (77.482), Lampung Tengah (62.045), Tulangbawang (53.504), dan Tanggamus (46.566).

10. Pendidikan Formal dan Informal NTT : Masyarakat Awam Belum Paham

Sebagian besar masyarakat awam di NTT ternyata belum paham tentang apa itu pendidikan nonformal. Padahal dana miliaran rupiah setiap tahun telah digelontorkan untuk menanggulangi masalah pendidikan yang satu ini. Hal ini menjadi salah satu nada minor untuk sukses pendidikan di NTT. Menghadapi tantangan globalisasi, sumberdaya manusia NTT hingga pelosok-pelosok desa harus terus ditingkatkan. Apalagi kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik pun masih jauh dari standar. Lalu salahnya dimana?
Kupang, Aktualita NTT
Demikian penegasan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Thobias Uly, M.Si dalam rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009, Selasa, (10/03/09) di Aula UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Uly mengatakan, menghadapi kenyataan ini, mestinya semangat dan kerja keras terus dipacu untuk mensosialisasikan berbagai program pendidikan nonformal tersebut. Sehingga program pendidikan nonformal benar-benar berdampak pada peningkatan pengetahuan, taraf hidup dan perbaikan ekonomi masyarakat.
Upaya mewujudkan program tersebut kata Uly, dilakukan secara bertahap melalui berbagai kegiatan. Antara lain, peningkatan Sumber Daya Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Informal, melalui kegiatan pendidikan dan latihan; Pendidikan penjenjangan, kursus dan magang. Serta pengembangan berbagai program berbasis masyarakat melalui pembentukan berbagai program seperti : program Anak usia Dini, program kesetaraan (Paket A, B dan C setara), program keaksaraan (pemberantasan buta aksara), kelompok belajar usaha, life skill (keterampilan) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia menambahkan, dengan telah dibukanya berbagai program pendidikan anak usia dini (kelompok bermain, tempat penitipan anak dan satuan PAUD sejenis), program kesetaraan ( paket A, B, dan C setara ), program life skill seperti: kursus komputer, laboratorium bahasa, Informasi Teknologi, kursus menjahit dan kursus kecantikan di kampus UPT2PNI ini, diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat NTT yang membutuhkan pendidikan nonformal dan informal.
Pada tempat yang terpisah Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni mengatakan, upaya pemerintah melaksanakan rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal dan informal, dengan maksud untuk menyamakan presepsi dan membangun komitmen bersama dengan jajaran PNF di wilayah NTT, Subdin PLS Kabupaten/Kota, UPT PPNFI, Subdin Bina PLS Provinsi dan UPTD SKB termasuk mitra terkait, untuk dapat merumuskan suatu perencanaan pelaksanaan dan evaluasi program PNF yang terpadu dan sinergis.
Sinergitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diyakini akan mampu menjadikan program-program PNF yang efektif, efisien dan berkualitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan serta bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dan yang paling utama sebagai sasaran program PNF adalah peningkatan harkat, martabat dan kualitas kehidupan masyarakat.
Dikatakannya, tujuan dari kegiatan perencanaan dan penyusunan program PNF di UPT PPNFI Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni menyampaikan strategi Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Disamping menyamakan presepsi, gerak dan langkah dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program PNF terpadu dan sesuai Tupoksi masing-masing. Untuk itu harus selalu ada komitmen bersama jajaran PNF dalam pelaksanaan program PNF di lapangan.
Peserta rapat dalam kegiatan perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal terdiri dari, Kepala Bidang PLS Kabupaten/Kota, Kepala SKB Kabupaten/Kota dan Kepala Bidang yang membidangi Pendidikan pada Bappeda Kabupaten/Kota serta Pamong Belajar SKB Kabupaten/Kota.
Hasil yang diharapkan dalam Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) yakni: tersosialisasi kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang Pendidikan dan adanya komitmen, presepsi yang sama untuk pelaksanaan program PNF di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan masing-masing.
Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas program PNF di masa mendatang. “Melalui kegiatan ini kita harapkan terwujudnya sebuah kerjasama dan sinergitas seluruh jajaran PNF yang ada di Nusa Tenggara Timur. Pedoman ini juga diharapkan agar mampu memberikan arah yang baik bagi pelaksana kegiatan dimaksud, sehingga komitmen yang kuat dijajaran PNF dapat memupuk pondasi bagi aksesnya penyelenggaran program PNF di lapangan,” tutur Sumarni.

Pendidikan Non Formal

Artikel :
6. Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah


JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.
Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.
Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.
Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.
"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.
Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.
Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.
Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

7. Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal

Laporan wartawan KOMPAS Indira Permanasari S
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.
Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.
"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.

8.Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.
"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).
Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.
Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.
Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

9. Penilik PLS Keluhkan Tunjangan

SEMARANG - Pendidikan luar sekolah (PLS) atau pendidikan nonformal sebenarnya adalah suatu wahana yang bisa dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam proses pendidikan.
Namun umumnya masyarakat lebih mengenal pendidikan formal yang terdiri atas SD hingga perguruan tinggi (PT). PLS menjadi suatu alternatif baru dan mulai dilirik masyarakat karena banyaknya siswa yang tak lulus ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu.
Hal itu disampaikan H Sakbani SPd, ketua Ikatan Penilik Pendidikan Luar Sekolah (IPPLS) Jawa Tengah di sela-sela deklarasi yang digelar di Badan Diklat Jateng, Kamis (22/9) lalu.
Menurut dia, dari data survei sosial ekonomi nasional tahun 2003 lalu, angka buta huruf usia produktif di Jawa Tengah sebesar 792.418 orang.
"Mendidik dan mengawasi pelaksanaan PLS di berbagai penjuru pedesaan di seluruh Jateng bukanlah hal mudah. Selain faktor lokasi, tunjangan dan sarana kendaraan belum memadahi bagi para penilik PLS," ungkapnya.
Menurut Sakbani, dari seluruh penilik PLS yang ada di Jateng yakni sebanyak 1.250 orang, baru 15% di antaranya yang mendapatkan fasilitas sepeda motor.
"Kondisi kendaraan itu pun sebagian sudah tidak layak melihat kondisi medan yang harus kami hadapi. Tunjangan yang diterima pun lebih kecil dibanding kepala sekolah, kami berharap pemerintah bisa mengakomodasi permintaan kami," tuturnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jateng Drs Suwilan Wisnu Yuwono menyatakan tidak mempunyai wewenang yang mengatur masalah kesejahteraan mereka.
"Saya akan memfasilitasi keluhan para penilik dengan membawa permasalahan itu ke tingkat pusat. Semoga saya bisa membantu," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Suwilan menyambut baik pendeklarasian IPPLS Jateng. Menurutnya, dengan bersatunya para penilik, segala permasalahan dan keluhan yang dihadapi di lapangan bisa terakomodasi di dalam forum.
"Semoga IPPLS bisa semakin solid dan berkembang agar bisa mengurangi terus angka buta huruf guna menciptakan masyarakat Indonesia yang pandai," tuturnya.
Sakbani mengungkapkan, pendidikan nonformal atau PLS juga membutuhkan peran serta masyarakat untuk secara aktif memperluas layanan pendidikan bagi masyarakat.
"Kendala yang kami alami adalah masalah pendataan. Banyak di antara masyarakat yang masih buta huruf sudah berkeluarga atau merantau ke daerah lain. Karena itu, kami akan menggandeng semua unsur masyarakat untuk mendukung program yang akan dilaksanakan," tegasnya.
Menurutnya, masyarakat yang akan dioptimalkan peran sertanya dalam PLS meliputi warga belajar atau peserta didik, tenaga pengajar, penyelenggara dan unsur masyarakat.
"Kami akan mengajak tokoh agama dan para pengusaha untuk menjadi mitra kerja guna memajukan PLS," ujarnya.

10. Guru Non Formal ‘Ditirikan’

Jurnalnet.com (Jakarta): RPP Guru Non Formal Mendesak Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Yang Masih Jadi Anak Tiri. GURU non formal nasibnya bak anak tiri dalam khasanah pendidikan nasional. Padahal, pendidik ini amat berjasa dalam membantu pemerintah menyukseskan pendidikan nasional. Khususnya, bagi kalangan yang memiliki berbagai kendala dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah formal.
Tanpa memiliki pengabdian yang berupa panggilan jiwa untuk ikut sera mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini, khususnya kalangan bawah ini pendidik non formal yang jamak disebut tutor ini akan sulit untuk bertahan.
Bayangkan hanya dengan honor Rp108.000 per bulan, seperti yang.diterima oleh Ayu, tutor bahasa Indonesia di Kabupaten Ende ini bagaimana bisa bertahan hidup. Itu pun, diterima oleh sarjana S-1 tiga bulan sekali. Namun, gadis berjilbab asli Ende, NTT ini mengatakan menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Banyak teman saya pindah profesi, karena persoalan kebutuhan hidup, ujar nona berusia 26 tahun ini.
Muslimah yang rajin puasa Senin-Kamis ini untuk menambah penghasilannya menjadi guru honor di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Ende. Itu pun hanya Rp200.000 sebulan.
Berbeda dengan Ayu, tutor bahasa Inggris Sylvester yang mengajar tiga kelas di Kabupaten Manggarai lebih beruntung. Meskipun, masih dibayar tiga bulan sekali, honornya Rp150.000 per bulan, Sedangkan, tenaga lapangan Diknas (TLD) Agustina Prima yang bertugas di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat memeroleh honor Rp700.000 sebulan. Sebagai tenaga lapangan pekerjaannya serabutan. Pokoknya mengisi apa saja yang kurang dalam proses pembelajaran pendidikan non formal di pulau wisata hewan langka tersebut. Ya itu program paket, anak usia dini, maupun keaksaraan, ujar wanita yang namanya sudah masuk data base di Balai Kepegawaian Daerah (BKD) untuk sejak 2005.
Itulah potret guru non formal. Potret buram ini agaknya tidak terlalu jauh berbeda di sejumlah daerah di NTT. Bahkan, juga gambaran kekumuhan guru non formal di seluruh Indonesia nyaris sama saja.

Pendidikan Tinggi

Artikel :
6. Komersialisasi Pendidikan Tinggi


Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research &
Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk
menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi
keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum
pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti
dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan
langsung maupun tidaklangsung dengan urusan pendidikan. Namun
demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi
perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika
akademik yang dilakukan Perguruan tinggi kita untuk memenangkan
persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai
ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming
hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak
ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan
menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah
untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah &
gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup
memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada
PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak
sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya
asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala
cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi
yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan
orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada
kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi,
sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah
mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah
mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah
saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri
kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi
kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya
banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau
sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan
berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai
bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari
kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan
range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika
selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus
alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang
sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari
proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal
ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi
pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus
bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar
dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS.
Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang
melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan
Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan
eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan
beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi
dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas
sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi
komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang
memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan
jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan
tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi
arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga
kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.
mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan
pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan
menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

7.Dampak Kapitalisasi Pendidikan Tinggi

Saat ini pendidikan tinggi sedang mengalami krisis sebab saat ini pendidikan tinggi sedang menjadi sasaran kapitalisasi. Kita lihat saja empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB statusnya sudah berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN), yang berikutnya akan disusul pula oleh USU, UPI dan UNAIR. Kapitalisasinya terlihat dari ciri khas dari PTBHMN ini yang pengumpulan dan pengelolaan dana yang dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Sehingga kita akan melihat perguruan tinggi akan menyerupai sebuah perusahaan yang mengurusi bisnis pendidikan.
Sasaran kapitalisasi ini ternyata tidak hanya perguruan negeri saja namun juga akan mengenai perguruan tinggi swasta yang saat ini masih berada dalam tanggung jawab pemerintah. Untuk memantapkan kemandirian institusi pendidikan tinggi, PTBHMN dan perguruan tinggi negeri lainnya akan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Negara PTBHMPN sedangkan perguruan tinggi swasta statusnya akan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Masyarakat (PTBHMPN). Untuk mempersiapkan semua itu, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) yang rencananya akan disahkan sebagai UU pada tahun 2010.
Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa proyek ini pendanaannya dibiayai melalui pinjaman World Bank yang merupakan salah satu instrumen kapitalisme global. Keterlibatan World Bank pada proyek ini bisa menjadi salah satu indikasi yang jelas bahwa memang pendidikan tinggi sedang menjadi sasaran kapitalisme global. Kapitalisme global dengan sistem ekonomi neoliberalnya, menurut Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memiliki beberapa dogma utama yang di antaranya adalah privatisasi sektor publik. Privatisasi ini yang sering disebut sebagai otonomisasi kampus akan berdampak pada dua hal yaitu pendidikan tinggi bukan lagi milik public melainkan menjadi milik segelintir orang pada kelas social tertentu saja dan pendidikan akan selalu dinilai secara ekonomis dengan logika untung rugi.
Lebih jauh lagi ada beberapa dampak yang cukup berbahaya dari kapitalisasi pendidikan tinggi.
Pertama, komersialisasi pendidikan tinggi tidak dapat dihindari lagi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa status BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi. Hal ini salah, karena pada kenyataannya memang terjadi komersialisasi. Bagaimana tidak, pemerintah sudah tidak lagi bertanggung jawab akan dana pendidikan. Akibatnya aset-aset peguruan tinggi dijadikan ajang bisnis untuk mencari uang. Sebagai contoh IPB yang mendirikan Bogor Botani Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampus. Sebenarnya menjadikan kampus sebagai pusat bisnis sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun anggap saja mengkonversi aset untuk menutupi kekurangan dana pendidikan dana sah-sah saja. Tetapi bagaimana nasib institusi pendidikan yang tidak punya aset. Alhasil biaya pendidikanlah yang akan dinaikkan.
Kedua, timbul kesenjangan dalam bidang pendidikan. Seperti yang dijelaskan di atas dampak dari komersialisasi pendidikan salah satunya adalah meningkatnya biaya pendidikan. Bila hal ini terjadi maka pendidikan tinggi akan menjadi milik selintir orang saja yang memiliki kelebihan uang. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh bila parkiran kampus dipenuhi oleh mobil-mobil mahasiswanya. Ini menunjukkan kecenderungan bertambahnya mahasiswa yang kaya. Wajarlah timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah.
Ketiga, terjadinya pasar bebas pendidikan. Jika RUU BHP disahkan pendidikan akan menjadi komoditas. Standar suatu mata kuliah yang akan diajarkan didasarkan pada tingkat permintaan dan keinginan para pemodal. Kalau pemodal-pemodal tersebut adalah bangsa mungkin masih lebih baik karena mata kuliah tersebut mungkin masih akan berrelevansi dengan permasalahan bangsa ini. Namun jika para pemodal itu berasal dari pihak asing maka jangan harap para lulusan perguruan tinggi akan menyelesaikan permasalahan bangsa karena mereka dari awal telah diarahkan untuk menyelesakan persoalan bangsa lain.
Keempat, pendidikan tinggi tidak lagi independen. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pendidikan kita akan akan diarahkan tergantung keinginan pemodal. Oleh karena itu, kurikulum yang telah ada akan terancam karena mudah diutak-atikkan sesuai keinginan para kapitalis. Yang paling dikhawatirkan dari infiltrasi kurikulum ini adalah para kapitalis akan dengan mudah memasukkan mata kuliah tertentu yang berisi ide-ide kapitalisme yang bertujuan untuk mencetak agen-agen kapitalis di Indonesia
Kelima, dilupakannya tri dharma perguruan tinggi. Apabila institusi pendidikan sudan berorientasi bisnis maka jalannya pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama. Yang akan menjadi focus kelak adalah untung dan rugi. Ini saja sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pertama yaitu pendidikan. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang kedua yaitu pengabdian kepada masyarakat akan dilanggar juga karena pendidikan tinggi akan diarahkan untuk menyelesaikan masalah masalah perusahaan asing yang menjadi investor pada perguruan tinggi tersebut bukan permasalahan rakyat indonesia.
Akar masalah dari semua ini adalah berlepas dirinya pemerintah dari tanggung jawab dalam masalah pendidikan. Pemerintah tampaknya sudah tidak mau lagi direpotkan dengan masalah biaya pendidikan. Di samping itu, memang apabila kita runut kita akan menemuakan bahwa kapitalisasi pendidikan tinggi merupakan salah satu agenda kapitalisme global untuk memprivatisasi semua sektor publik.

8. Perguruan Tinggi Harus Ideal

Sebagai orang tua, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun yang ada, mereka pusing dibebani segudang pertanyaan. Seperti apa bentuk sekolah yang baik dan ideal? Apakah harga menjamin kualitas yang diberikan? dan lain sebagainya.
Keadaan seperti itu tidak jauh berbeda dengan memilih perguruan tinggi. Sekarang ini baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) berlomba-lomba menaikkan tarif pendidikan dengan dalih biaya gedung, sumbangan pengembangan, bantuan khusus mahasiswa, dan sebagainya. Bahkan ada beberapa perguruan tinggi yang menawarkan iming-iming mendapatkan komputer, handphone, mp3 player, dan banyak lagi.
Seakan yang terjadi sekarang pendidikan sudah dikomersialkan. Hal ini tidak hanya membuat calon mahasiswa bingung, namun orang tua juga ikut pusing memikirkan nasib anaknya. Seharusnya tingginya biaya pendidikan yang diterapkan pihak perguruan tinggi hendaknya diikuti juga dengan pelayanan pendidikan yang berkualitas, tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja.
Jika perguruan tinggi sudah berani menaikkan biaya pendidikan, maka harus mengimbanginya dengan fasilitas yang lengkap. Dengan kata lain, pendidikan sekarang itu harus ideal. Dalam kamus bahasa Indonesia ideal artinya “sesuai dengan yang diharapkan”

Banyak perguruan tinggi yang menawarkan berbagai kelebihannya, baik lewat media cetak mapun elektronik. Jika sudah seperti itu, pihak perguruan tinggi yang bersangkutan harus konsekuen dengan apa yang ditawarkan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyesal di kemudian hari. Itulah namanya pendidikan yang ideal, sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tentunya orang tua berharap perguruan tinggi yang dipilih akan mampu menjadi tempat mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Tidak hanya sekedar tempat penampungan sementara saja. Perguruan tinggi harus bisa mencetak lulusan yang siap pakai sesuai dengan keahlian yang telah diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak memang buntutnya harus berurusan dengan dana yang tidak sedikit.

9. Pendidikan di Era Pasar Bebas

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.
Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu.
Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai.
Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah.
Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan.
Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen.
Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.
Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi.
Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua.
Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan.
Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan.
Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat.
Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan.
Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education.
Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis.
Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan.
Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan.
Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan.
Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen.
Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar.
Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.
Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya.
Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering.
Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik.
Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu.
Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.
Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran.
Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan.
Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik.
Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional.
Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan.
Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu.
Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku.
Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.
Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas.
Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas. (18)

10. Pendidikan Tinggi Dan Daya Saing Bangsa

Makna Daya Saing
Frasa “keunggulan kompetitif” tersebut bisa kita terjemahkan dalam 2 (dua) hal, pertama : memenuhi kebutuhan diri sendiri (tidak tergantung kepada negara lain), dan kedua : mampu berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan negara dan bangsa lain. Keunggulan kompetitif pertama tersebut kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDIRIAN, sedangkan keunggulan kompetitif kedua kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDRAGUNAAN.
Baik KEMANDIRIAN maupun KECERDIKAN sangat diperlukan dalam membangun daya saing suatu bangsa. Suatu bangsa akan berdaya saing tinggi bila bangsa tersebut MANDIRI, baik secara ekonomi maupun budaya. Artinya, segala pemenuhan kebutuhan ekonominya mampu dipenuhi oleh sumber-sumber ekonominya sendiri. Demikian juga budayanya, dimana bangsa tersebut menganut budaya-budaya berdasarkan nilai-nilai anutan (guiding value) yang tidak terinfiltrasi budaya negatif asing. Dengan demikian, maka KEMANDIRIAN membutuhkan “kesederhanaan” dan “keberanian” anak bangsa dalam mempertahankan dan memperjuangkan kekuatan ekonomi, dan budaya sendiri. Swadesi atau semangat menggunakan produk dalam negeri (buatan sendiri) yang diterapkan Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh usaha kemandirian menghadapi perang ekonomi bangsa penjajah.
Contoh bagus dari Indonesia ditunjukkan oleh Menkes Siti Fadilah Supari , dalam hal prosedur sharing virus Flu Burung melawan dominasi lembaga penelitian virus Amerika Serikat yang berlindung dibalik WHO, dengan mengatakan : “Anda sebagai negara maju memang menguasai teknologinya, tapi kami di Indonesia memiliki virusnya dan rakyat kami yang menjadi korban. Silahkan tempelkan teknologi itu di jidat anda, apakah ia dapat menghasilkan sesuatu tanpa virus dari Indonesia”. Keberanian semacam ini adalah merupakan bibit KEMANDIRIAN untuk berbagi kekuatan ekonomi melalui penelitian teknologi yang dilakukan bersama-sama antara negara maju dengan yang belum maju. Contoh lain adalah tuntutan negara tropis di Asia, termasuk Indonesia, yang berani meminta kompensasi alih teknologi industri negara maju dalam hal penanggulangan pemanasan global, tidak sekedar mendapatkan insentif emisi , yang kemudian waktu harus mengeluarkan banyak uang ketika negara maju telah mampu menciptakan teknologi industri yang ramah lingkungan.
Bila KEMANDIRIAN telah menjadi suatu karakter dan semangat bangsa yang independen dan memiliki keberanian, maka langkah berikutnya adalah menguatkan semangat kemandirian tersebut menjadi keunggulan kompetitif yang benar-benar riil, yaitu KEMANDRAGUNAAN, suatu keunggulan daya saing yang berbasis Intelectual Capital. Bila daya saing KEMANDIRIAN membutuhkan suatu pembangunan karakter anak bangsa, maka daya saing KEMANDRAGUNAAN membutuhkan pengembangan sistem pendidikan (selain sistem kesehatan dan distribusi pendapatan nasional) yang mampu menghasilkan anak bangsa berkualitas tinggi.
Pendidikan disetiap tahapan menjadi hal penting dalam peningkatan daya saing bangsa. Pendidikan karakter untuk daya saing KEMANDIRIAN dibentuk mulai dari tahapan pendidikan Dasar hingga Menengah (DIKDASMEN), dan menjadi tanggung jawab bersama guru disekolah maupun orang tua. Pada tahapan inilah, anak bangsa dilatih agar mempunyai karakter independen dan keberanian. Pada negara-negara OEDC dengan ranking tinggi, seperti Finlandia, Jepang dan Singapore, lulusan SLTA nya telah mempunyai tingkat kemandirian tinggi, sehingga dapat dengan mudah diolah oleh Pendidikan Tinggi berikutnya.
Pendidikan tinggi sebagai bagian akhir dari proses peningkatan daya saing ini akan sangat menentukan peran dalam meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa dan negara, sekaligus mengentaskan kemiskinan yang sekarang ini menjadi “program” populer negara berkembang dimanapun, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing global sebagaimana tuntutan skenario globalisasi (minimal ditingkat ASEAN 2015) yang tidak bisa kita hindari.
Pengembangan Kompetensi PT
Selain pembagian kompetensi lulusan yang jelas antara jalur pendidikan akademis (S1,S2,dan S3) dengan pendidikan vokasi (diploma, Poltek), maka dibutuhkan kurikulum yang menyeimbangkan antara kompetensi “hard skill” dengan “soft skill” yang mengakomodasi aspek teknis dan spirit teknopreneurship. Dalam penerapannya, kurikulum bermuatan teknopreneurship ini membutuhkan tim pengajar yang seharusnya mampu menjadi fasilitator dari pembelajaran aktif mahasiswanya. Dengan kata lain, pengajar harus di-teknopreneurkan dahulu sebelum menteknopreneurkan mahasiswanya.
Permasalahan yang terjadi dari penerapan ini adalah keyakinan dari kebanyakan pendidik bahwa “nature” dari seorang pendidik yang sifatnya melayani adalah berbeda dengan “nature” teknopreneur yang lebih bersifat profit making. Meskipun demikian, kita bisa meniru pengalaman yang diambil oleh pemerintah Singapore, dimana PT nya menyeimbangkan antara pengajaran, penelitian, dan aplikasi komersialnya. PT di Singapore selalu melakukan penelitian dengan syarat bahwa penelitian tersebut haruslah mampu dikomersialkan melalui kerjasama yang baik dengan industri (Laporan Tahunan 2004). Konsep integrasi ini diperkenalkan Singapore dengan istilah Teknopreneurship Education, yaitu mendidik mahasiswa dengan output intelektual yang layak jual dan berdaya saing tinggi.
Mengawali langkah seperti ini, maka PT bisa memulainya dengan memilih kendaraan “pengakuan internasional” nya melalui sisi kompetitif (daya saing) ekonomi negara, bukan sekedar sisi “komparatifnya” saja. Misalnya, pemilihan sastra jawa dan musik tradisional daerah tertentu sebagai kendaraan “ranking internasional” suatu PT di Indonesia memang dari sisi komparatif adalah pilihan jitu, tetapi hanya menghasilkan sedikit dampak ekonomisnya bagi daya saing bangsa. Pemilihan “renewable energi” bagi kendaraan “pengakuan internasional” PT di Indonesia yang beriklim tropis, akan lebih berdampak ekonomis dimasa mendatang meskipun dibutuhkan daya juang tinggi untuk bersaing dengan yang lain.