Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Non Formal

Artikel :
6. Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah


JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.
Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.
Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.
Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.
"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.
Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.
Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.
Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

7. Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal

Laporan wartawan KOMPAS Indira Permanasari S
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.
Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.
"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.

8.Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.
"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).
Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.
Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.
Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

9. Penilik PLS Keluhkan Tunjangan

SEMARANG - Pendidikan luar sekolah (PLS) atau pendidikan nonformal sebenarnya adalah suatu wahana yang bisa dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam proses pendidikan.
Namun umumnya masyarakat lebih mengenal pendidikan formal yang terdiri atas SD hingga perguruan tinggi (PT). PLS menjadi suatu alternatif baru dan mulai dilirik masyarakat karena banyaknya siswa yang tak lulus ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu.
Hal itu disampaikan H Sakbani SPd, ketua Ikatan Penilik Pendidikan Luar Sekolah (IPPLS) Jawa Tengah di sela-sela deklarasi yang digelar di Badan Diklat Jateng, Kamis (22/9) lalu.
Menurut dia, dari data survei sosial ekonomi nasional tahun 2003 lalu, angka buta huruf usia produktif di Jawa Tengah sebesar 792.418 orang.
"Mendidik dan mengawasi pelaksanaan PLS di berbagai penjuru pedesaan di seluruh Jateng bukanlah hal mudah. Selain faktor lokasi, tunjangan dan sarana kendaraan belum memadahi bagi para penilik PLS," ungkapnya.
Menurut Sakbani, dari seluruh penilik PLS yang ada di Jateng yakni sebanyak 1.250 orang, baru 15% di antaranya yang mendapatkan fasilitas sepeda motor.
"Kondisi kendaraan itu pun sebagian sudah tidak layak melihat kondisi medan yang harus kami hadapi. Tunjangan yang diterima pun lebih kecil dibanding kepala sekolah, kami berharap pemerintah bisa mengakomodasi permintaan kami," tuturnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jateng Drs Suwilan Wisnu Yuwono menyatakan tidak mempunyai wewenang yang mengatur masalah kesejahteraan mereka.
"Saya akan memfasilitasi keluhan para penilik dengan membawa permasalahan itu ke tingkat pusat. Semoga saya bisa membantu," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Suwilan menyambut baik pendeklarasian IPPLS Jateng. Menurutnya, dengan bersatunya para penilik, segala permasalahan dan keluhan yang dihadapi di lapangan bisa terakomodasi di dalam forum.
"Semoga IPPLS bisa semakin solid dan berkembang agar bisa mengurangi terus angka buta huruf guna menciptakan masyarakat Indonesia yang pandai," tuturnya.
Sakbani mengungkapkan, pendidikan nonformal atau PLS juga membutuhkan peran serta masyarakat untuk secara aktif memperluas layanan pendidikan bagi masyarakat.
"Kendala yang kami alami adalah masalah pendataan. Banyak di antara masyarakat yang masih buta huruf sudah berkeluarga atau merantau ke daerah lain. Karena itu, kami akan menggandeng semua unsur masyarakat untuk mendukung program yang akan dilaksanakan," tegasnya.
Menurutnya, masyarakat yang akan dioptimalkan peran sertanya dalam PLS meliputi warga belajar atau peserta didik, tenaga pengajar, penyelenggara dan unsur masyarakat.
"Kami akan mengajak tokoh agama dan para pengusaha untuk menjadi mitra kerja guna memajukan PLS," ujarnya.

10. Guru Non Formal ‘Ditirikan’

Jurnalnet.com (Jakarta): RPP Guru Non Formal Mendesak Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Yang Masih Jadi Anak Tiri. GURU non formal nasibnya bak anak tiri dalam khasanah pendidikan nasional. Padahal, pendidik ini amat berjasa dalam membantu pemerintah menyukseskan pendidikan nasional. Khususnya, bagi kalangan yang memiliki berbagai kendala dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah formal.
Tanpa memiliki pengabdian yang berupa panggilan jiwa untuk ikut sera mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini, khususnya kalangan bawah ini pendidik non formal yang jamak disebut tutor ini akan sulit untuk bertahan.
Bayangkan hanya dengan honor Rp108.000 per bulan, seperti yang.diterima oleh Ayu, tutor bahasa Indonesia di Kabupaten Ende ini bagaimana bisa bertahan hidup. Itu pun, diterima oleh sarjana S-1 tiga bulan sekali. Namun, gadis berjilbab asli Ende, NTT ini mengatakan menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Banyak teman saya pindah profesi, karena persoalan kebutuhan hidup, ujar nona berusia 26 tahun ini.
Muslimah yang rajin puasa Senin-Kamis ini untuk menambah penghasilannya menjadi guru honor di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Ende. Itu pun hanya Rp200.000 sebulan.
Berbeda dengan Ayu, tutor bahasa Inggris Sylvester yang mengajar tiga kelas di Kabupaten Manggarai lebih beruntung. Meskipun, masih dibayar tiga bulan sekali, honornya Rp150.000 per bulan, Sedangkan, tenaga lapangan Diknas (TLD) Agustina Prima yang bertugas di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat memeroleh honor Rp700.000 sebulan. Sebagai tenaga lapangan pekerjaannya serabutan. Pokoknya mengisi apa saja yang kurang dalam proses pembelajaran pendidikan non formal di pulau wisata hewan langka tersebut. Ya itu program paket, anak usia dini, maupun keaksaraan, ujar wanita yang namanya sudah masuk data base di Balai Kepegawaian Daerah (BKD) untuk sejak 2005.
Itulah potret guru non formal. Potret buram ini agaknya tidak terlalu jauh berbeda di sejumlah daerah di NTT. Bahkan, juga gambaran kekumuhan guru non formal di seluruh Indonesia nyaris sama saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar