Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Informal

Artikel :
6. Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan


Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.
Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

7. Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).
Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.
Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.
Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

8. PENDIDIKAN INFORMAL: Puluhan Ibu Dididik Daur Ulang Kertas Bekas

SURABAYA (Ant/Lampost): Lembaga Manajemen Infak (LMI) akan mendidik 60 ibu dan remaja putri dari berbagai daerah di Jatim agar memiliki keterampilan mendaur ulang kertas bekas menjadi barang bernilai ekonomis.
"Pelatihan daur ulang kertas bekas ini akan dilaksanakan di Surabaya, 24 hingga 25 Januari 2009. Pesertanya berasal dari Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar dan Pasuruan," kata Direktur Eksekutif LMI, Wahyu Novyan di Surabaya, Kamis
Ia menjelaskan puluhan perempuan dengan kondisi ekonomi tidak mampu itu akan dididik mendaur ulang kertas menjadi hiasan buku, kotak pensil, celengan, hiasan bunga, kontak antaran, kotak tisu, dan lainnya.
Menurut dia, lewat pelatihan ini, diharapkan para peserta memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonominya di daerahnya masing-masing.
Mereka akan dilatih oleh anak-anak binaan LMI yang sudah lama menggeluti dan memiliki keterampilan daur ulang kertas. Saat ini, ada enam anak usia SD dan SMP di LMI yang memiliki keterampilan dan siap membagikan ilmunya kepada masyarakat.
"Ada keuntungan ganda bagi anak-anak yang menjadi instruktur dalam pelatihan daur ulang kertas ini. Selain menguasai ilmu daur ulang, mereka juga belajar berbagi ilmu dengan orang lain," kata dia.
Meskipun mereka menguasai keterampilan daur ulang, karya mereka belum sepenuhnya bisa dijual secara luas. Hal itu karena terkendala waktu, antara sekolah formal dan memproduksi barang-barang bernilai seni itu.
"Kami memang tidak mengorientasikan anak-anak untuk menjual karyanya secara luas karena yang kami utamakan adalah pendidikan mereka dulu. Tapi yang jelas, mereka telah memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk masa depan," kata dia.
Didampingi Manajer Komunikasi LMI, Nurul Rahmawati, Wahyu mengemukakan pihaknya terus berupaya melakukan pemberdayaan terhadap orang-orang tidak mampu, termasuk memberikan beasiswa untuk anak-anak putus sekolah.
"Saat ini, ada sekitar 500 anak di Surabaya yang mendapatkan beasiswa dari LMI. Selain itu, kami juga melakukan pembinaan kepada anak-anak di luar pendidikan formal, seperti menjahit, bahasa Inggris dan lainnya," ujar dia.

9. Pendidikan Informal:Berantas Buta Huruf,Intensifkan Kerja Sama Dinas

BANDARLAMPUNG (Lampost): Untuk mengentaskan penyandang buta aksara perlu kerja sama yang intensif antara pemerintah daerah (pemda), Dinas Pendidikan, dan beragam lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau universitas.
Demikian dikatakan Ketua Pimpiman Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin saat pelatihan keaksaraan fungsional (KF) yang digelar PW Muslimat NU Lampung di Wisma Bandar Lampung, Jumat (8-6). Pelatihan yang berlangsung tiga hari (7--9) itu diikuti 30 peserta baik tutor, penyelengara KF, dan sebagainya.
Misal saja, lanjut Hariyanti, Dinas Pendidikan dan Pemda Lampung dan Kota Bandar Lampung bisa meningkatkan kerja samanya dengan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Lampung (Unila) yang memiliki jurusan pendidikan luar sekolah. Yakni dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan, antara lain dengan mendirikan sejumlah kelas malam untuk orang dewasa. Karena, orang yang buta aksara biasanya adalah warga miskin yang pada siang hari disibukkan dengan mencari nafkah untuk penghidupannya.
Sedangkan untuk anak-anak buta aksara yang tidak mendapat kesempatan mengenyam bangku sekolah maka pemerintah dengan institusi pendidikan bisa membuat semacam rumah singgah yang di dalamnya terdapat beragam bacaan yang menarik anak-anak untuk belajar membaca.
Selain itu, ia juga meminta Dinas Pendidikan membuat program lanjutan sekaligus mengedrop bahan bacaan ke daerah-daerah kantung rawan buta huruf sehingga dapat meningkatkan minat baca penduduk.
Sementara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi baru-baru ini mengemukakan tahun ini, pemerintah menyiapkan anggaran Rp1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang mencapai 2,2 juta orang di seluruh Tanah Air. Sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di di sembilan provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Sedangkan sisanya dibagi rata di 22 provinsi lain.
Sedang di Provinsi Lampung terdapat 393.952 jiwa penyandang buta huruf, usianya si atas 15 tahun. Data Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyebutkan jumlah tertinggi penduduk yang buta huruf berada di Kabupaten Lampung Timur 79.633 jiwa dan terendah di Kota Metro 6.725 jiwa. Sementara lima kabupaten yang menjadi kantung rawan buta aksara adalah Lampung Timur, Lampung Selatan (77.482), Lampung Tengah (62.045), Tulangbawang (53.504), dan Tanggamus (46.566).

10. Pendidikan Formal dan Informal NTT : Masyarakat Awam Belum Paham

Sebagian besar masyarakat awam di NTT ternyata belum paham tentang apa itu pendidikan nonformal. Padahal dana miliaran rupiah setiap tahun telah digelontorkan untuk menanggulangi masalah pendidikan yang satu ini. Hal ini menjadi salah satu nada minor untuk sukses pendidikan di NTT. Menghadapi tantangan globalisasi, sumberdaya manusia NTT hingga pelosok-pelosok desa harus terus ditingkatkan. Apalagi kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik pun masih jauh dari standar. Lalu salahnya dimana?
Kupang, Aktualita NTT
Demikian penegasan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Thobias Uly, M.Si dalam rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009, Selasa, (10/03/09) di Aula UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Uly mengatakan, menghadapi kenyataan ini, mestinya semangat dan kerja keras terus dipacu untuk mensosialisasikan berbagai program pendidikan nonformal tersebut. Sehingga program pendidikan nonformal benar-benar berdampak pada peningkatan pengetahuan, taraf hidup dan perbaikan ekonomi masyarakat.
Upaya mewujudkan program tersebut kata Uly, dilakukan secara bertahap melalui berbagai kegiatan. Antara lain, peningkatan Sumber Daya Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Informal, melalui kegiatan pendidikan dan latihan; Pendidikan penjenjangan, kursus dan magang. Serta pengembangan berbagai program berbasis masyarakat melalui pembentukan berbagai program seperti : program Anak usia Dini, program kesetaraan (Paket A, B dan C setara), program keaksaraan (pemberantasan buta aksara), kelompok belajar usaha, life skill (keterampilan) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia menambahkan, dengan telah dibukanya berbagai program pendidikan anak usia dini (kelompok bermain, tempat penitipan anak dan satuan PAUD sejenis), program kesetaraan ( paket A, B, dan C setara ), program life skill seperti: kursus komputer, laboratorium bahasa, Informasi Teknologi, kursus menjahit dan kursus kecantikan di kampus UPT2PNI ini, diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat NTT yang membutuhkan pendidikan nonformal dan informal.
Pada tempat yang terpisah Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni mengatakan, upaya pemerintah melaksanakan rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal dan informal, dengan maksud untuk menyamakan presepsi dan membangun komitmen bersama dengan jajaran PNF di wilayah NTT, Subdin PLS Kabupaten/Kota, UPT PPNFI, Subdin Bina PLS Provinsi dan UPTD SKB termasuk mitra terkait, untuk dapat merumuskan suatu perencanaan pelaksanaan dan evaluasi program PNF yang terpadu dan sinergis.
Sinergitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diyakini akan mampu menjadikan program-program PNF yang efektif, efisien dan berkualitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan serta bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dan yang paling utama sebagai sasaran program PNF adalah peningkatan harkat, martabat dan kualitas kehidupan masyarakat.
Dikatakannya, tujuan dari kegiatan perencanaan dan penyusunan program PNF di UPT PPNFI Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni menyampaikan strategi Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Disamping menyamakan presepsi, gerak dan langkah dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program PNF terpadu dan sesuai Tupoksi masing-masing. Untuk itu harus selalu ada komitmen bersama jajaran PNF dalam pelaksanaan program PNF di lapangan.
Peserta rapat dalam kegiatan perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal terdiri dari, Kepala Bidang PLS Kabupaten/Kota, Kepala SKB Kabupaten/Kota dan Kepala Bidang yang membidangi Pendidikan pada Bappeda Kabupaten/Kota serta Pamong Belajar SKB Kabupaten/Kota.
Hasil yang diharapkan dalam Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) yakni: tersosialisasi kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang Pendidikan dan adanya komitmen, presepsi yang sama untuk pelaksanaan program PNF di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan masing-masing.
Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas program PNF di masa mendatang. “Melalui kegiatan ini kita harapkan terwujudnya sebuah kerjasama dan sinergitas seluruh jajaran PNF yang ada di Nusa Tenggara Timur. Pedoman ini juga diharapkan agar mampu memberikan arah yang baik bagi pelaksana kegiatan dimaksud, sehingga komitmen yang kuat dijajaran PNF dapat memupuk pondasi bagi aksesnya penyelenggaran program PNF di lapangan,” tutur Sumarni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar