Arikel :
6. PAUD Muslimat NU Berstandar Internasional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk meningkatkan kompetensi, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lathifah milik Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan metode pembelajaran beyond centers and circle time (BCCT) dan berstandar internasional.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU Hj. Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri pembukaan pelatihan keaksaraan fungsional (KF) dan loka karya pertanian yang digelar Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung di Wisma Bandar Lampung, Kamis (7-6). Hadir Direktur Jenderal (Dirjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Djoko Said, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar dan puluhan pejabat teras, organisasi wanita dan 1.200 anggota Muslimat NU se-Lampung.
Pada kesempatan itu Khofifah juga meresmikan PAUD Lathifah di Jalan W.R. Supratman, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung.
Selanjutnya Khofifah menjelaskan fokus metode pembelajaran BCCT dengan mengajak anak-anak lebih aktif, inovatif, dinamis, partisipasif, dan agamais dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Yakni mulai dari proses belajar mengajar hingga alat permainan edukatif (APE) dikemas sedemikian rupa sehingga anak-anak makin kreatif dan inovatif. Misal saja, mulai dari tempat duduk dan meja harus ditata sedemikian rupa dengan posisi melingkar. Sehingga anak-anak diajak berdiskusi tentang berbagai hal juga mengenal huruf dan angka, serta cara menghitung dan membaca yang dikemas secara rekreatif. Sesuai pembelajaran PAUD yakni belajar sambil bermain. "Jadi, tak hanya TK dan raudhatul athfal (RA) saja yang berstandar internasional, tapi juga PAUD Muslimat NU."
Selanjutnya ia menjelaskan, saat ini, Muslimat NU memiliki 2.224 PAUD, dari jumlah tersebut terbanyak di Jawa Timur (Jatim). "Di Lamongan, Jatim, kami memiliki 560 PAUD. Bahkan PAUD Tarahan di Kalimantan Timur, Batam, dan Sidoardjo menjadi PAUD percontohan," ujar dia.
Tahun ini, ia menargetkan setiap anak cabang (kecamatan) dan ranting (kelurahan) memiliki PAUD.
Muslimat NU juga memiliki 9.800 taman kanak-kanak (TK) dan 11.900 taman pendidikan Alquran (TPA), dan 32 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.
Sementara, Ketua PW Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin
menjelaskan PW Muslimat NU memiliki PAUD, TK/RA, taman pendidikan agama (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ) di bawah naungan Yayasan Al Ma'arif yang tersebar di 10 kabupaten/kota.
Sementara itu, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said mengaku salut atas komitmen Muslimat NU dalam membantu pemerintah baik di bidang pendidikan, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.
Hal senada juga disampaikan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar. "Sebagai underbouw dari ormas NU, ternyata kiprah Muslimat NU sangat banyak. Tak hanya meningkatkan pendidikan dan dakwah, tapi juga pemberdayaan perempuan," ujar dia.
7. Mengatasi Kendala Pendidikan Anak Usia Dini
SIAPA pun tak akan menyangkal ungkapan yang menyebutkan masa depan suatu bangsa terletak di tangan generasi mudanya. Artinya, kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas calon penerus generasi sekarang.
Calon penerus tersebut mencakup generasi muda yang terdiri atas para anak muda, remaja, serta anak-anak termasuk bayi.
Jika generasi mudanya berkualitas rendah atau lemah secara fisik dan mental, bisa dipastikan suatu bangsa atau negara akan terseok-seok. Mereka akan kepontal-pontal ketika harus berlomba melawan negara atau bangsa-bangsa lain di era persaingan yang kian keras. Persaingan itu terjadi pada semua sektor kehidupan. Mulai ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, hingga olahraga.
Dalam konteks mempersiapkan generasi penerus berkualitas itulah pendidikan anak usia dini (PAUD) memegang peranan amat penting.
Di negara lain pendidikan anak usia dini telah mendapat perhatian sejak lama. Di Singapura dan Korea Selatan, misalnya, hampir semua anak berusia dini atau 0-6 tahun telah memperoleh pendidikan.
Di Indonesia pendidikan anak usia dini baru beberapa tahun terakhir ini menjadi isu nasional dan mulai mendapatkan perhatian pemerintah. Tak mengherankan jika dari sekitar 28 juta anak usia 0-6 tahun baru 73% atau sekitar 20,4 juta belum mengenyam pendidikan usia dini.
Sisanya atau sekitar 7,5 juta anak sudah memperoleh pendidikan usia dini, antara lain berupa membaca dan berhitung.
Sebagian kecil di antaranya ditangani di lembaga formal, yakni taman kanak-kanak (TK), kelompok bermain (play group), dan sederajat. Sebagian yang lain memperoleh pendidikan usia dini di lembaga-lembaga nonformal, yakni tempat penitipan anak (TPA), bina keluarga balita, dan sejenisnya.
Tahun ini Departemen Pendidikan Nasional menargetkan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan usia dini sebesar 12,5% atau menjadi 11 juta anak dan 2009 menjadi 17,3 juta anak.
Usia dini yang lazim diartikan pada kisaran 0-6 tahun memang merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi seorang anak. Sudah banyak penelitian yang membuktikan pada usia tersebut anak-anak memiliki tingkat intelegensi atau kecerdasan paling optimal.
Tujuan utama pendidikan usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal yang meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial secara menyeluruh. Dengan begitu anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut. Bukan hanya belajar secara akademik di sekolah, melainkan juga sosial, emosional, dan moral di semua lingkungan.
Pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU pada 11 Juni 2003 memberi peluang bagi perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Melalui UU tersebut keberadaan dan program-program pendidikan anak usia dini lebih memiliki kepastian hukum dan lebih jelas kedudukannya.
Semua bentuk pendidikan usia dini dipayungi, baik TK, raudhatul athfal, kelompok bermain (play group), TPA, pendidikan keluarga dan lingkungan, serta bentuk-bentuk lain yang sederajat.
UU tersebut juga mengakui kesetaraan peranan ketiga jalur pendidikan, yakni formal, nonformal, dan informal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.
Pengakuan terhadap peranan jalur formal dan nonformal mungkin tidak terlalu mengherankan, tetapi untuk jalur informal atau pendidikan dalam keluarga dan lingkungan merupakan suatu kemajuan. Untuk memperluas peluang anak-anak usia dini dalam memperoleh pendidikan, jalur informal sangat memberikan harapan.
Namun walau telah memiliki payung hukum sehingga kedudukannya lebih pasti dan jelas, dalam pelaksanaannya di lapangan pendidikan anak usia dini menemui banyak kendala.
Pertama, kesadaran masyarakat mengenai betapa strategis pendidikan anak usia dini hingga sekarang belum menggembirakan.
Kurang Menyentuh
Di antaranya akibat sosialisasi kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Baru sebagian kecil yang memiliki kesadaran cukup baik untuk memberi pendidikan anaknya sejak dini. Itu pun masih banyak terjadi salah tafsir. Pendidikan anak usia dini seolah-olah hanya bertumpu pada TK, kelompok bermain, dan sejenisnya yang bersifat formal.
Keterbatasan sarana yang terjangkau mendorong swasta berlomba-lomba "membisniskan" jenis pendidikan tersebut dengan tawaran fasilitas yang wah. Mulai penerapan bilingual atau dwibahasa, laboratorium komputer, gedung sekolah megah, guru-guru yang kompeten, hingga berbagai pendukungnya.
Orang tua harus mengeluarkan uang jutaan rupiah kalau ingin memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain yang termasuk favorit. Lebih salah-kaprah lagi, banyak yang merasa kurang bergengsi dan percaya diri jika tak memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain favorit.
Kedua, faktor geografis menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini formal dan nonformal tidak mampu menjangkau seluruh sasaran. Banyak anak-anak usia dini yang tinggal di kepulauan terpencil dan daerah-daerah pelosok yang tak tersentuh oleh layanan transportasi memadai.
Satu-satunya cara mengatasi persoalan itu adalah mengembangkan pendidikan anak usia dini yang bersifat informal, yakni berbasis keluarga dan masyarakat. Namun untuk itu memerlukan orang tua atau orang dewasa yang memiliki semangat belajar agar mampu mendidik anak-anak di keluarga dan lingkungannya.
Ketiga, jumlah tenaga terdidik yang diharapkan menjadi agen-agen pengembangan pendidikan anak usia dini masih terbatas. Selain itu, sebagian besar sumber daya manusianya berkualitas rendah sehingga belum bisa diharapkan banyak untuk mengembangkan sekaligus menyosialisasikan pendidikan tersebut.
Penyebabnya antara lain tidak banyak perguruan tinggi yang memiliki perhatian serius terhadap penyediaan tenaga pendidikan anak usia dini.
Keempat, faktor ekonomi sebagian masyarakat kita yang tergolong memprihatinkan juga menjadi salah satu kendala menggalakkan pendidikan anak usia dini.
Perhatian masyarakat terfokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pokok, terutama pangan, sehingga pendidikan anak-anak agak terabaikan.
Untuk mengatasi beberapa kendala yang menghambat layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini tersebut bisa ditempuh beberapa langkah.
Terutama memperluas jangkauan layanan melalui pendidikan nonformal dan informal yang berbasis keluarga serta lingkungan. Perlu disosialisasikan bahwa pendidikan anak usia dini bukan hanya TK atau taman bermain formal, melainkan juga TPA, bina keluarga balita, posyandu, serta keluarga sendiri.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan perlu digerakkan agar pendidikan tersebut menyentuh anak-anak dari kelompok masyarakat paling bawah serta anak-anak di daerah-daerah terpencil.
Departemen Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dengan PKK, Muslimat NU, Aisyiah, dan Kowani untuk meningkatkan jumlah anak usia dini yang memperoleh pendidikan.
Data Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan di Indonesia saat ini ada 9.668 pos pendidikan anak usia dini yang terdiri atas 635 TPA, 7.784 kelompok bermain, serta 1.249 pos lain berupa pos pelayanan terpadu (posyandu), bina keluarga balita, dan berbagai organisasi kewanitaan.
Pendidikan anak usia dini memerlukan penanganan secara multidisipliner yang melibatkan antara lain ahli gizi, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan sosiologi.
Tentu agar semua anak usia dini terjangkau membutuhkan dana besar. Departemen Pendidikan Nasional telah mengalokasikan dana Rp 109 miliar yang terbagi dua, yaitu Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar dikelola daerah.
Jumlah dana itu masih belum mencukupi atau hanya bersifat stimulans sehingga penyelenggaraan secara mandiri atau swadaya oleh masyarakat sangat diharapkan.
Perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu kependidikan diminta pula perannya dalam menyiapkan tenaga-tenaga untuk menangani anak-anak usia dini.
Sekali lagi, pendidikan anak usia dini sebagai peletak dasar dalam upaya mencetak generasi berkualitas harus ditangani secara serius, bahkan memperoleh prioritas. Seluruh masyarakat ikut memikul tanggung jawab, bukan hanya pemerintah.
8. Guru PAUD Juga Tuntut Insentif
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setelah Persatuan Guru Honor Murni (PGHM) Bandar Lampung memperoleh insentif dari Pemerintah Kota, giliran guru-guru PAUD yang tergabung Himpaudi menuntut hal yang sama.
Permintaan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) itu diutarakan Ketuanya, Hj. Sudarmi Kherlani, saat menutup pembekalan bagi pendidik PAUD kecamatan se-Kota Bandar Lampung tahap III di Museum Lampung, Selasa (16-12). Istri Wakil Wali Kota ini mengatakan insentif yang diminta Rp100 ribu/bulan/orang.
Menurut Sudarmi, kini, di Bandar Lampung ada 199 PAUD dengan 7.423 anak didik dan 804 tenaga pendidik. Dari jumlah tersebut yang menerima insentif Rp100 ribu/bulan berasal dari APBN baru sekitar 164 guru.
Ia menilai insentif tersebut belum memadai dibanding dengan pengabdian para tutor mendidik anak-anak prasekolah. "Kendati jauh dari ideal, ini merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat untuk memberikan kesejahteraan kepada para pendidik PAUD," kata dia didampingi Sekretaris Himpaudi Kota Hj. Betti Nuraini.
Sebab itu, ia mengharapkan Pemerintah Kota memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah pusat menganggarkan dana insentif kepada para tutor PAUD.
Ia mengakui PAUD masih menjadi kunci utama dan primadona pembinaan anak-anak pada usia awal untuk memasuki jenjang pendidikan formal. Sebab itu, program PAUD harus mendapatkan perhatian dan pengawalan yang baik sehingga hasil dari proses belajar-mengajarnya juga menjadi baik.
"Jika tahun ini Pemkot sudah menganggarkan insentif bagi guru honor murni, mudah-mudahan tahun depan dapat merealisasikan insentif bagi guru PAUD," ujar dia.
Saat ini, perkembangan PAUD di Kota Bandar Lampung tumbuh pesat. Kini berjumlah terdapat 199 PAUD dengan 7.423 anak didik dan 804 tenaga pendidik meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya 164 PAUD dengan peserta didik 6.996 anak dan 723 tutor.
Meningkatnya jumlah tersebut seiring banyaknya orang tua yang menyekolahkan putra-putri ke PAUD serta masyarakat yang terpanggil untuk mendedikasikan diri menjadi tenaga pengajar PAUD.
Ia bersyukur kini PAUD menjadi primadona dalam pembinaan anak-anak pada usia awal untuk memasuki jenjang pendidikan formal. Untuk itu, pihaknya terus berupaya meningkatkan mutu dan profesionalisme tenaga pendidik sehingga mereka dapat mengajar dengan baik dan berkualitas.
Peningkatan tersebut dengan cara memberikan pelatihan dan pembekalan bagi tutor PAUD. Tahun ini saja Himpaudi telah menggelar tiga kali pembekalan. Tahap pertama per Januari 2008 diikuti 250 peserta dari 154 kelompok PAUD. Lalu tahap kedua per Oktober diikuti 250 peserta dari 171 kelompok dan tahap ketiga diikuti 300 peserta dari 199 kelompok PAUD.
"Jadi per Januari 2008 tenaga pendidik PAUD hanya berjumlah 704 orang kini bertambah menjadi 804 orang. Padahal target kami hanya 750 orang," kata dia.
Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah, ia bersama pengurus bahu-membahu melatih tenaga pendidik PAUD tersebut. Sebab itu, pihaknya akan melanjutkan pembekalan hingga 2009 dengan menggelar pelatihan training of trainer (TOT).
9. Angka Partisipasi PAUD di Indonesia Rendah
JAKARTA (Ant): Angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia masih rendah, yakni di bawah 20. Padahal, negara-negara dengan penghasilan rendah sekalipun memiliki angka partisipasi rata-rata 24. Dengan angka itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah tingkat partisipasi PAUD di dunia.
"Indonesia masih di bawah 20, padahal di negara dengan penghasilan rendah lain telah mencapai 24. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, angka partisipasi PAUD di Indonesia juga masih di bawah," kata Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidilan Luar Sekolah (Ditjen PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Gutama di Jakarta, Kamis (19-10). Ia mencontohkan Vietnam, misalnya, telah mencapai 43, Filipina 27, Thailand 86, serta Malaysia 89.
Menurut dia, di Indonesia pada 2005 tercatat 28 juta anak usia 0--6 tahun. Jumlah anak usia PAUD, yakni 2--4 tahun mencapai 11,8 juta. Dari jumlah tersebut, yang ikut PAUD baru sekitar 10,10. Dari 28 juta anak usia 0--6 tahun, sebanyak 73 persen atau 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini.
Sedangkan sisanya, 27 persen atau 7,5 juta anak, sudah mengenyam pendidikan usia dini seperti membaca dan berhitung yang dilakukan lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak (TPA).
"Padahal, PAUD tidak dapat dipandang sebelah mata karena usia tersebut merupakan 'masa emas', saat perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya pendidikan memadai pada masa itu," ujarnya.
Dia mengatakan masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi PAUD di Indonesia. Pasalnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya PAUD. Selain itu, PAUD belum menjadi "pendidikan wajib" karena belum adanya anggaran khusus untuk sektor pendidikan tersebut. "Kendala lain adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi belum tersedia serta belum semua daerah punya petugas yang menangani PAUD. Untuk itulah Ditjen PLS bakal meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya PAUD dan mendorong terselenggaranya sebuah lembaga PAUD nonformal," katanya.
10. Model Pengembangan PAUD Gorontalo
Perkembangan PAUD di Provinsi Gorontalo maju pesat antara lain berkat campur tangan Hana Hasanah Fadel Muhammad, istri Gubernur Provinsi Gorontalo Ir. Fadel Muhammad.Ia bahkan menjabat sebagai Ketua Forum PAUD Provinsi Gorontalo. Tak ketinggalan istri-istri Bupati/walikota juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Kalau sudah begitu, program-program PAUD pun berjalan mulus, termasuk dalam peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikannya. Sungguh beruntung masyarakat Provinsi Gorontalo dipimpin oleh Gubernur Ir. Fadel Muhammad. Selain dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, Fadel yang juga kondang sebagai pengusaha sukses itu juga memiliki inovasi tinggi dalam meningkatkan daya saing provinsinya, misalnya melalui ekspor sapi, tanaman jagung unggulan, hasil laut, dan lain-lain.
Di bidang pendidikan, perhatian Fadel juga tinggi, yang ditunjukkan dengan cukup besarnya anggaran pendidikan. Tahun lalu anggaran pendidikannya mencapai sekitar Rp 33 miliar atau 15,6% dari APBD. Bahkan di bidang pendidikan ini ia mendapat dukungan penuh dari sang istri tercinta, Hana Hasanah Fadel Muhammad. Walhasil program-program pendidikan pun bisa berjalan mulus. Hal itu juga dirasakan oleh para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat yang menggeluti bidang pendidikan di Provinsi Gorontalo.
Khusus di bidang pendidikan anak usia dini (PAUD), misalnya, Hana Hasanah Fadel Muhammad bahkan bersedia duduk sebagai Ketua Forum PAUD Provinsi Gorontalo. Di tengah kesibukannya sehari-hari sebagai istri gubernur, Hana aktif mengurusi organisasi ini.
Hana juga aktif menghadiri pertemuan Forum PAUD tingkat nasional, misalnya pada lokakarya Forum PAUD dan HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia) yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat, Juni tahun lalu. Saat itu, Hana merupakan satu-satunya istri gubernur yang hadir. Hana rela menyempatkan mampir ke acara tersebut meski keesokan harinya pergi ke Eropa mendampingi suaminya. Hal itu merupakan bentuk kepedulian dan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD.
Jajaran tokoh masyarakat pendidikan di provinsi muda setelah melepaskan diri dari Sulawesi Utara itu mengakui Hana sangat aktif terlibat dalam kegiatan PAUD. “Kami mendapat dukungan penuh dari Pak Gubernur dan Ibu Gubernur dalam menjalankan program-program pendidikan, termasuk PAUD,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo, Drs. Weni Liputo.
“Kesediaan Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD itu merupakan barang langka, karena di daerah-daerah lain masih cukup banyak istri gubernur yang tidak mau terlibat. Bapak dan Ibu Gubernur sangat peduli terhadap program PAUD karena menyadari bahwa kalau Provinsi Gorontalo mau maju, maka kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya harus dipersiapkan dengan baik sejak dini. Dengan posisi Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD, yang kemudian dikuti oleh istri bupati/walikota sebagai Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing, maka pekerjaan Dinas Pendidikan menjadi sangat terbantu,” kata Weni Lupito.
Irina Popoi, Sekretaris Forum PAUD Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa Hana menjadi Ketua Forum PAUD sejak organisasi ini dibentuk pada Juni 2006 lalu. “Saya senang Bu Hana bersedia menjadi Ketua Forum PAUD, apalagi beliau juga Ketua PKK Provinsi Gorontalo. Sehingga pelaksanaan program PAUD menjadi lancar,” katanya.
Kesediaan Hana menjadi Ketua Forum PAUD ternyata berimplikasi sampai ke bawah. Buktinya, para istri bupati/walikota di Gorontalo juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Walhasil, wajar jika program PAUD kini menjadi primadona.
Jumat, 17 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Article yang bagus, memberikan banyak pengetahuan yang belum sepenuhnya saya ketahui sebelumnya. Thanks for the access!
BalasHapus