Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Khusus

Artikel :
6. Tiga Juta Anak Butuh Pendidikan Khusus
Sumber : SINDO


JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.
”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.
Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik.

7. Pendidikan Seks Harusnya Dimulai dari Keluarga

JAKARTA, SELASA - Masalah seksual masih tabu untuk dibicarakan, baik dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga, sehingga banyak informasi keliru tentang pengetahuan seksual. Hal ini perlu segera dibenahi melalui pendidikan seksual sesuai usia dan pendidikan.
"Informasi mengenai seks banyak didapatkan dari media cetak dan elektronik yang sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja, " kata ahli penyakit kulit dan kelamin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Sjaiful Fahmi Daili, Selasa ( 25/11), di Jakarta.
Agar tidak memperoleh informasi keliru mengenai pengetahuan seksual, lanjut Sjaiful, materi pendidikan seksual seharusnya diperkenalkan dalam keluarga dan di luar lingkungan keluarga terutama di sekolah. Karena sebagian masyarakat masi h tabu berbicara mengenai seksual, banyak anak perempuan kebingungan ketika pertama kali mendapat menstruasi, ujarnya.
Pemberian pendidikan seksual bukan berarti membuka peluang untuk perilaku seks bebas, melainkan lebih menekankan mengenai perbedaan lelaki dan perempuan secara seksual, kapan terjadi pembuahan, apa dampaknya jika berperilaku seks tanpa dilandasi tanggung jawab termasuk risiko terkena infeksi menular seksual, kata Sjaiful.
Berbagai jenis infeksi menular seksual pada perempuan dan laki-laki dapat menyebabkan infeksi saluran reproduksi atau ISR dan komplikasi yang berlanjut. Hal ini terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat. Apalagi, beberapa jenis infeksi menular seksual pada wanita tidak menimbulkan gejala khas, ujarnya.
Sjaiful menjelaskan, ditinjau dari segi usia ternyata pasien IMS yang paling menderita adalah kelompok usia muda, karena perilaku dan kondisi biologisnya yang belum matang. Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok ini, khususnya para remaja yang selama ini terabaikan. Salah satunya, dengan mengenalkan pendidikan seksual disesuaikan umur dan pendidikan, kata dia.

8. Nelayan Tidak Berpendidikan Khusus Kok Ditangkap...

Laporan wartawan Adi Sucipto

LAMONGAN, MINGGU - Terkait penangkapan KM Sumber Murni asal Lamongan oleh gabungan polisi dan Polisi Air Gresik, Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Lamongan Minggu (22/2) Sudarlin menyatakan kapal tidak harus dikandangkan dan nahkoda tidak harus ditahan. Menurut dia seharusnya ada pola pembinaan dulu dan tidak langsung ditangkap mengingat nelayan Indonesia rata-rata tidak punya pendidikan khusus nelayan.
"Nelayan Indonesia bukan nelayan modern seperti nelayan Korea dan Jepang yang memiliki sertifikat fisherman (sertifikat nelayan). Mereka memiliki look book sebagai catatan perkembangan hasil tangkapan. Beda dengan nelayan Indonesia pulpen saja tidak bawa. Nelayan Indonesia tidak punya pendikan khusus melaut," kata Sudarlin.
"Profesi nelayan di Indonesia justru alternatif pekerjaan terakhir karena tidak perlu sekolah. Nelayan pada dasarnya tidak tahu dokumen apa yang harus dilengkapi. Sebagian besar hanya bagi hasil. Kapal dari pemilik, alat tangkap dan bahan bakar serta ABK serta nahkoda hanya menjalankan kapal saja," lanjutnya.
"Oleh karena itu menyikapi penangkapan kapal nelayan Lamongan petugas tidak perlu kaku. Undang-undang Perikanan kan baru saja berjalan sedangkan Undang-undang Dasar saja yang ada sejak merdeka saja belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Kami berharap aparat hukum tidak terlalu kaku agar tidak semakin merugikan nelayan Indonesia," ujar Sudarlin.
Menurut dia persoalan dokumen nelayan dalam negeri semestinya bisa ditoleransi agak longgar dengan diberi pembinaan dan peringatan awal tidak langsung ditangkap dan kapal dikandangkan. Harus ada pembinaan khusus sebab nelayan pada umumnya kurang memerhati kan kelengkapan dokumen bukan karena tidak ada tetapi bisa saja mati tidak diperpanjang.
"Terkecuali nelayan melakukan tindakan kriminal ditangkap tidak apa-apa. Contohnya mereka menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti jaring pukat harimau, bahan peledak, atau merusak terumbu karang," katanya.
Kelengkapan dokumen kata Sudarlin biasanya mati tetapi belum diperpanjang karena kesibukan nelayan di Laut. Dia mencontohkan selama ini bila ada kapal ditangkap di Sumenep ada koordinasi antara dinas perikanan Polair dan HNSI.
"Pernah ada kapal yang diamankan karena blank tanpa dokumen ada yang dokumennya mati. Tetapi ada pola pembinaan sehingga nelayan bisa menyikapi untuk melengkapi dokumen. Pertama diberi peringatan dulu, dengan catatan bila tertangkap lagi tanpa dokumen maka kapal dikandangkan dan pemilik atau ABK bisa ditahan," tuturnya.
Dia menambahkan kapal nelayan idealnya dilengkapi pas kapal yang dikeluarkan Dinas Perhubungan dan surat izin yang dikeluarkan Dinas Perikanan. Pas kapal wajib untuk semua kapal menyebutkan tanda catatan kapal, ukuran, nama kapal dan pemiliknya.
Sedangkan dokumen yang dikeluarkan Dinas Perikanan terdiri dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Untuk kapal ukuran di bawah lima GT hanya melapor saja sedangkan di atas lima GT harus dilengkapi SIPI, kata Sudarlin.

9. Baru 64.000 anak cacat mendapatkan pendidikan ksusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.
"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.
Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.
"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.
Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.
Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.
Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.
Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.
"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.
Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

10. Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Baru Sentuh 21 Persen ABK
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.
Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar