Artikel ke 2 :
pendidikan Dasar gratis :Amanat yang terlupakan
Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa :”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut.
Apakah pendidikan dasar gratis itu mustahil dilaksanakan dari segi finansial, tidak adil bagi si miskin, menurunkan mutu, sekedar mimpi, dll? Tentu saja tidak. Fakta menunjukkan bahwa semua negara maju menggratiskan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Bahkan di Jerman orang asingpun boleh menikmati sekolah gratis tersebut sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya banyak orang kita yang pergi ke Jerman untuk memperoleh pendidikan tinggi gratis dan berkualitas tinggi.
Bagaimana dengan negara miskin? Negara miskin seperti Vietnam dan Nigeria di Afrika ternyata juga mampu menggratiskan wajib belajar bagi warganya. Jadi pendidikan dasar gratis itu adalah sangat mungkin, adil, meningkatkan mutu dan juga merupakan keharusan bagi setiap negara. Sangatlah ganjil jika ada pejabat di bidang pendidikan yang menolak konsep pendidikan dasar gratis ini karena ini sama halnya dengan menolak UUD 1945 dan amanat yang dibebankan kepadanya.
Tapi tidak usah melihat dalam skala negara. Bukankah kita sekarang telah menikmati otonomi daerah dimana setiap daerah dapat mengembangkan visi dan strategi pengembangan sumber dayanya sendiri? Jika pemerintah pusat belum mampu menetapkan pendidikan dasar gratis meski telah diamanatkan UU bukankah pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif sendiri untuk itu? Kepala daerah yang memiliki komitmen untuk ikut mencerdaskan kehidupan rakyat di daerahnya semestinya tanpa ragu-ragu meaksanakan amanat ini karena sudah jelas bahwa pemenuhan amanat ini akan dapat membawa rakyatnya kepada kemakmuran di masa mendatang. Kepala-kepala daerah yang membebaskan baiya pendidikan bagi rakyatnya sebenarnya adalah pahlawan-pahlawan daerah masing-masing. Tidak heran jika Bupati Jembrana Prof Drg. I Gede Winasa memperoleh penghargaan dari MURI sebagai kabupaten pertama yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bagi segenap warganya. Ia memang pantas memperoleh penghargaan karena banyaknya fasilitas gratis yang ia berikan kepada rakyatnya termasuk kesehatan gratis, KTP gratis, asuransi gratis, PBB pertanian gratis, dll. Apakah Kabupaten Jembrana daerah yang kaya sehingga mampu melaksanakan itu semua? Tidak samasekali. Jembrana termasuk relatif miskin. Untuk skala propinsi kita harus mengacungkan jempol kepada JP Solossa, Gubernur Papua dan Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, yang melaksanakan pembebasan biaya pendidikan bagi warga di daerah masing-masing.
Tapi memang bukan dana yang menjadi permasalahan. Karena terbukti bahwa daerah miskinpun bisa memenuhi amanat UUD 1945 ini. Kabupaten Sinjai di Sulsel yang juga relatif miskin juga telah mampu membuktikan dirinya mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Yang menjadi masalah adalah KOMITMEN dari para pejabat di daerah masing-masing untuk mau melaksanakan amanat undang-undang ini. Percumalah kita berteriak berjuang bagi rakyat jika hal yang sangat mendasar semacam ini saja para kepala daerah tidak punya keinginan untuk memenuhinya. Pendidikan gratis sebenarnya adalah Jihad Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Jaya Suprana, yang semestinya dilakukan oleh semua kepala daerah demi kemakmuran dan kemajuan daerah masing-masing.
Tapi bukankah ada dana subsidi pendidikan bagi orang miskin dari BBM? Lodi Paat, pengamat pendidikan, dengan kecewa mengatakan bahwa itu merupakan pengalihan tanggung jawab. Lodi Paat menilai dana kompensasi BBM untuk pendidikan sebetulnya hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam membiayai pendidikan. Sebab, biaya yang mestinya ditanggung negara dicoba dikompensasikan dalam kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, di mana orang kaya digiring membiayai pendidikan bagi orang miskin. Amanat undang-undang dalam pendidikan tetap diabaikan.
Untuk kasus Kalimantan Timur jelas bukan masalah dana yang menjadi penghambat. Dana APBD daerah-daerah di Kaltim jauh lebih tinggi daripada Jembrana (232 M) maupun Sinjai. Kita tidak tahu apa masalah yang dihadapi masing-masing daerah sehingga belum juga berusaha untuk membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Sampai hari ini baru Kutai Kertanegara dan Bontang yang membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Daerah-daerah lain masih ditunggu komitmennya.
Satria Dharma
Balikpapan, November 2005
Dewan Pendidikan Kota Balikpapan
Minggu, 15 Februari 2009
Pendidikan Dasar
Artikel ke-1 :
Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan
SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.
Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.
"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? (Indira Permanasari)
Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan
SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.
Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.
"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? (Indira Permanasari)
Label:
Pendidikan Dasar
Profil Saya..
Assalamu’alaikum Wr.Wb………..
Saya Dwi Yunita biasa dipanggil Dwi oleh teman-teman saya, sedangkan di rumah saya biasa dipanggil Yunita, tahun ini saya menginjak usia 20 tahun. Sekarang saya sedang menjalani perkuliahan semester empat di Universitas Negeri di Jakarta (UNJ)...
Di sini saya akan mencoba untuk memperkenalkan diri saya, dari mulai saya lahir sampai dengan saya sebesar sekarang dan cita-cita saya kedepan….
Saya lahir pada tanggal 29 Juni 1989di sebuah Rumah Bersalin di Jakarta. Saya lahir dari Ayah yang bernama Eddy Djunaedi dan Ibu yang bernama Umiati. Kedua orang tua saya sampai sekarang mereka masih aktif bekerja di Jakarta. Bapak (50 tahun) adalah seorang karyawan swasta di PT. Gapura Angkasa Jakarta, sedangkan Mama (49 tahun) sampai sekarang masih bekerja di SMPN 78 Jakarta sebagai Bendahara TU (Tata Usaha).
Dwi adalah anak kedua dari tiga bersaudara.. saya memiliki satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Kakak perempuan saya bernama Sri Utami yang berumur 23tahun sekarang ia sudah bekerja di Bank Sinarmas sebagai CS (Costumer Service), dwi biasa memanggilnya dengan sebutan Mba tami. Sedangkan adik laki-laki saya bernama Tri Nufus Fahreza yang berumur 15 tahun sekarang ia masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama kelas IX7 Di SMP Yadika 8 Bekasi. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Nufus atau Ade,
Sebelum saya lahir kedua orang tua dan kakak saya bertempat tinggal di Tanggerang bersama Kakek dan Nenek saya dari Bapak. Saya memanggil Kakek dan Nenek dari bapak dengan sebutan Mbah Cowok dan Mbah Cewek. Besamaan dengan pindahnya mbah cowok dan mbah cewek dari Tanggerang, Mama dan Bapak pun ikut pindah. Mbah Cowok dan Mbah Cewek pindah ke daerah Bekasi yaitu di Harapan Baru. Selepas pindah dari rumah di Tanggerang , kedua orang tua saya sudah tidak tinggal bersama lagi dengan Mbah Cowok dan Mbah cewek. Bapak dan Mama pindah kedaerah Jakarta pusat di Cempaka Putih, disana Bapak dan Bapak mengontrak sebuah rumah yang hanyak berjarak beberapa meter dari rumah kakek dan nenk saya dari mama. Saya biasa memanggil mereka dengan sebutan Mbah Akung dan Mbah Kutik. Pasti kalian bertanya mengapa Mama dan Bapak tidak tinggal bersama lagi dengan Mbah Cowok dan Mbah Cewek?? Jawabannya adalah karena Bapak dan Mama ingin mencoba untuk hidup mandiri dan membangun rumah tangganya sendiri, selain itu daerah cempaka putih juga dekat dengan kantor mama, jadi mama tidak terlalu jauh dan capek untuk menuju kantor, maklum pada saat itu mama sedang mengandung aku…
Sejak saya lahir sampai saya berusia 4,5 tahun kami tinggal dirumah kontrakan tersebut. Bahkan Ari-ari waktu saya lahir pun dikuburkan dirumah kontrakan tersebut… hehehe… Setelah Mama melahirkan aku, Mama tetap bekerja. Jika Bapak dan Mama sedang bekerja aku dan Mba Tami dititipkan dirumah Mbah Akung dan Mbah Kutik, maklum kan rumahnya berdekatan. Tapi, tidak selamanya Bapak dan Mama tinggal dirumah kontrakan tersebut. Mereka juga mengingkan sebuah rumah yang bisa mereka beli dari hasil keringat mereka sendiri. Mulai saat itu Bapak dan Mama mulia giat mengumpulkan uang dan mulai mencari-cari rumah yang sesuai dengan selera mereka. Bapak dan Mama mulai mencari rumah di dekat rumah kontrakan kami, tapi saying mereka tidak mendapatkan sebuah rumah yang mereka inginkan. Suatu hari Bapak diberi tahu oleh adiknya yang biasa saya panggil dengan sebutan Om Amang ada sebuah perumahan baru di daerah Bekasi. Lalu tanpa pikir panjang Bapak dan Mama langsung melihat daerah perumahan tersebut dan sekali liat Bapak dan Mama langsung jatuh cinta dengan rumah tersebut. Akhirnya kami pun pindah ke Bekasi, tapi Mba Tami tidak ikut pindah bersama kami ke Bekasi karena pada saat itu dia telah masuk bangku sekolah dan dia tidak bisa pindah dari sekolah tersebut. Akhirnya, kami pun pindah ke Bekasi tanpa Mba Tami. Mba Tami tetap tinggal di Jakarta bersama Mbah Kutik dan Mbah Akung…
Setelah setahun kami tinggal di Bekasi, saya dan Mama mulai mencari sekolah Taman Kanak-kanak disekitar lingkungan rumah kami, karena saya sudah harus masuk TK. Kami pun menemukan sebuah TPA (Taman Pendidikan Anak) AL-JIHAD yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Tak lama setelah saya masuk sekolah Tama Kanak-kanak, adik laki-laki saya lahir.. dan betapa bahagianya saya pada saat itu. Selama kami pindah ke Bekasi, setiap seminggu sekali kami pasti ke Jakarta untuk mengunjungi Mba Tami dan mengontrol perkembangan sekolahnya. Setiap Mba Tami liburan dia yang pulang ke Bekasi dan berkumpul bersama kami di Bekasi.
Setelah saya lulus dari Taman Kanak-kanak, saya melanjutkan ke tingkat sekolah dasar. Tidak jauh dari sekolah TK saya, terdapat sebuah Sekolah Dasar (SD) Nusa Indah I yang sekarang berganti nama dengan Margahayu 11. Saat saya duduk dibangku kelas 5, mbah Akung meninggal dunai. Kejadian tersebut membuat kami sedih sekali. Tapi kesediahan itu perlahan-lahan hilang dan kami sudah mulai untuk mengikhlaskannya. Di SD saya pernah meraih persati peringkat 5 dikelas, saat saya menduduki kelas 6. Saya juga pernah merih prestasi juara 2 dalam lomba Tujuh Belas Agustusan yang diadakan ditempat tinggal kami. Saya lulus SD pada Tahun 2001 dengan nilai NEM yang cukup memuaskan.
Setelah saya lulus dari SD, saya melanjtukan pendidikan Menengah saya di SMP PGRI I Bekasi. Saya mendaftar ke sekolah tersebut bersama mama. Selama saya duduk dibangku SMP saya pernah merih pertasi peringkat 5 saat saya duduk di kelas 1 SMP dari 40 siswa. Pada saat saya duduk di kelas 2, saya meraih peringkat ke 7 dari 40 siswa. Pada tahun 2004, saya lulus dari SMP saya lulus dengan nilai NEM 19.25.
Selesainya dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya melanjutkan sekolah ke SMU YADIKA 8 Bekasi, yang terletak di Pondok Timur. Saat saya duduk dibangku kelas 1 SMU, saya merih pertasi ke 2 di kelas dari 40 orang siswa. Pada saat itu saya berhasil memperoleh bea siswa dari kantor Bapak ku. Saat saya duduk di bangku kelas 2 SMU, mbah cewek meninggal, sama seperti saat kami di tinggalkan oleh mbah akung, pada saat itu kami sekeluarga pun sedih terutama Bapak. Bapak terlihat sedih sekali saat mbah cewek meninggal, tapi dengan berjalannya waktu, Bapak sudah bisa untuk mengikhlaskannya. Saat saya kelas 3 SMU saya masuk kelas IPA, memang mesuk kelas IPA itu merupakan cita-cita dari awal saya masuk SMA. Bapak dan Mama pun berharap saya bisa masuk ke kelas IPA. Dan Alhamdulillah harapan saya pun terkabul…
Pada tahun 2007 saya lulus dari SMU, lalu saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, itu juga merupakan harapan dari kedua orang tua dan mba Tami. Mba Tami banyak memberikan masukan tentang universitas mana saja yang bagus di Jakarta. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ketika saya ingin mendaftar, saya bingung mau masuk mana, latar belakang saya adalah IPA, tapi saya tidak berminat untuk masu Fakultas MIPA. Hasil masukan dari kedua orang tua, akhirnya saya memutuskan untuk masuk Fakultas Ekonomi dan Program Studi Tata Niaga Non Reguler. Kenapa Non Reguler, Karena saya masuk UNJ melalui Ujian Masuk (PENMABA) bukan dari SPMB atau tes lainnya. Sekarang saya sudah menduduki semester IV.
Cita-cita saya ke depan adalah lulus menjadi Sarjana. Amin. Saya ingin membahagiakan kedua orang tua dengan bekerja sesuai dengan apa yang saya inginkan dan tepat pada waktunya. Jika saya sudah punya uang saya ingin sekali menaikan Haji kedua orang tua saya dan membuat mereka bangga dengan saya.
Label:
My Profile
Langganan:
Postingan (Atom)